GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Teror Satu Malam di Cikuray: Kisah Nyata yang Tak Pernah Saya Lupakan

Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Kolom - Nama saya Farhan Azis, seorang mahasiswa unpam. Saya ingin berbagi kisah perjalanan saya mendaki gunung Cikuray. Sejak pendakian pertama saya pada saat kelas 7 SMP, saya selalu penasaran pada gunung bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga karena cerita-cerita gelap yang beredar di balik kabutnya. Saya bukan pendaki professional, hanya seseorang yang percaya bahwa setiap perjalanan punya takdirnya sendiri. Dan dari semua gunung yang pernah saya dengar, Cikuray adalah satu-satunya yang membuat saya merasa… dia seolah memanggil.

Firasat 14 Hari: Pendakian Horor Cikuray Via Pemancar

Empat belas hari sebelum pendakian, sebuah firasat buruk mulai mengikuti langkahku kemana pun saya pergi. Saat itu saya masih duduk dibangku kelas 9 MTsN 1, dan rencana saya justru akan pergi ke Puncak bersama keluarga besar. Tapi sejak siang itu di Kalibata, semuanya berubah.

Pada hari itu saya sedang mengantar kakak sepupu untuk membeli HP dan seketika tiba-tiba gerimis turun. Dua motor di depan kami saling menyenggol tanpa alasan jelas. Tidak keras, tapi cukup membuat semua orang menoleh. Beberapa meter setelahnya, tepat di depan kuburan Kalibata sebuah motor terpeleset sendiri di jalan licin tanpa disebabkan apa pun.

Saya memberhentikan motor dan sejenak terdiam. Ada yang salah. Saya tidak tahu apa, tapi pikiran terasa berat seolah sedang diperingatkan. Dua kejadiaan  di waktu yang hampir bersamaan tepat ketika pikiran saya sedang gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres itu yang terus terlintas di kepala saya.

Tujuh hari berlalu. Seharusnya hari itu saya berangkat ke Puncak dengan keluarga besar. Namun entah kenapa, saya memajukan jadwal pendakian Cikuray yang tadinya dilakukan tujuh hari lagi. Saya memutuskan berangkat lebih cepat, seolah tubuh didorong oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Di mobil menuju Garut, saya sakit kepala dan badan merasa tidak enak, terlalu memikirkan firasat itu. “Jangan-jangan kecelakaan mobil? Jangan-jangan ini pertanda buruk?” pikirku. Tapi semua berjalan lancar. Kami sampai di Basecamp Pemancar dengan selamat.

Malam pertama kami habiskan sambil bermain kartu bersama. Pak Luthfi ketua pendakian kali ini sekaligus guru saya di MTsn 1. Anggota rombongannya Jack, Syahid, Akbar, Bagol dan beberapa alumni yang saya lupa namanya. Obrolan ringan, tawa, dan suasana dingin membuat malam tampak biasa saja.

Tapi semuanya berubah ketika pendakian dimulai…

Jalur Terjal dan Tenda Misterius

Pagi hari kami naik losbak melewati kebun warga menuju titik awal pendakian. Dari sana tanjakan curam menyambut. Tanjakan yang nanti akan menjadi lokasi kejadian paling aneh selama hidupku.

Kami mendaki pos demi pos. Malam perlahan turun ketika kami belum sampai area camp resmi di pos 6–7. Karena kelelahan, kami terpaksa mendirikan tenda di pinggir jalur. Hanya ada satu tenda lain di sana. Sunyi, tertutup rapat, seolah kosong.

Saya dan Jack sedang mendirikan tenda ketika suara itu terdengar.

Seorang perempuan menangis. Pelan. Mendetak. Seperti dari balik kabut.

Saya dan Jack saling menatap. Tubuh merinding spontan.

“Pak… kayak ada orang nangis”. bisikku ketika menghampiri Pak Luthfi.

Beliau mencoba berpikir positif. “Paling dari tenda sebelah, Han. Sudah, fokus bangun tenda dulu”.

Namun saya tahu apa yang kudengar. Itu bukan suara orang yang sedang ngobrol atau mengeluh. Itu  suara duka. Suara seseorang yang tidak ingin didengar tapi terdengar.

Tapi saat saya kembali melihat ke arah semak-semak itu, ada sesuatu yang ganjil. Angin tidak bergerak, tapi dedaunan bergoyang seperti ada siluet seseorang berdiri di dalamnya

Saya meminta tenda kami agak digeser sedikit ke atas, menjauh dari semak-semak. Tapi Pak Luthfi menyuruh kami tetap di bawah.

Malam mulai turun bersama hawa dingin yang rasanya bukan dari gunung.

Malam Yang Terasa Panjang dan Wajah Hitam

Setelah makan dan berbincang sebentar, kami masuk ke tenda. Saya tidur dengan Akbar, Jack, dan Pak Luthfi. Dingin menusuk tulang.

Tengah malam saya terbangun oleh mimpi aneh.

Saya melihat seorang perempuan. orang? makhluk? berdiri di luar tenda. Siluetnya samar, tapi wajahnya gelap tak berbentuk. Dalam mimpi itu, ia menunduk ke arahku dan kedua tangannya masuk menembus dinding tenda, mencekik leherku.

Saya terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin mengucur.

Ketika membuka mata, wajah teman di samping saya.… hitam. Seperti tak punya detail, hanya bayangan gelap. Saya memejamkan mata lagi, lalu membuka dan wajahnya kembali normal.

Saya pikir itu hanya mimpi buruk. Tapi mimpi itu datang lagi, lagi, dan lagi.

Saya mengalami empat kali mimpi dicekik hingga mengigau keras, kata Pak Luthfi.

Pagi harinya saya tidak mau bercerita tentang mimpi yang saya alami dan memilih diam. Saya tidak mau menurunkan mental teman-teman. Tapi jujur… saya merasa ada yang mengikuti sejak malam itu.

Summit Menuju Puncak — Bayangan yang Tidak Mengikuti Cahaya

Saat semua bangun untuk summit, saya menjauh sedikit ke arah semak-semak untuk buang air kecil. Hawanya aneh lebih dingin dari biasanya. Tanahnya basah, padahal semalaman tidak hujan.

Begitu saya berdiri memunggungi hutan… rasanya seperti ada yang berdiri di belakang saya.

Tidak bergerak...Tidak bersuara… Hanya ada Bulu kuduk saya yang langsung berdiri. Saya selesaikan secepat mungkin dan langsung menjauh tanpa menengok ke belakang.

Kami dibagi dua kelompok. Saya, Akbar, Bagol, Syahid, dan Jack berjalan didepan. Dan sisanya ada di belakang. Tetapi mereka bertiga berjalan terlalu cepat dan yang lainnya jauh tertinggal di belakang. Saya memutuskan untuk berhenti dan berpisah untuk menunggu kelompok belakang. Tapi beberapa menit kedepan tidak ada tanda tanda dari mereka, sehingga saya memutuskan melanjutkan perjalanan sendirian. Ditemani suara lonceng kecil saya berjalan di gelapnya hutan dan kabut. Terlintas di pikiran saya ingin merekam jalur dengan kamera hp, berharap melihat sesuatu jika diperlambat. Sesuatu yang menggangu saya sejak malam.

Tapi hasilnya nihil.

Saat matahari terbit, ketakutan mulai hilang sedikit. Matahari mulai menampakan keindahannya, saya berhenti sejenak untuk take foto. Lalu melanjutkan perjalanan. Perlahan saya sampai puncak, melihat teman-teman sedang makan cilok, dan saya merasa lega setelah malam yang berat.

Turun: Rahasia Terbuka

Turun dari puncak Cikuray seharusnya jadi momen lega. Tapi entah kenapa, sejak sampai di area tenda, perasaan saya kembali tidak enak. Mungkin karena kecapekan, mungkin karena tidur semalam yang kacau, atau bisa juga karena kejadian mimpi buruk itu masih membekas.

Kami makan dan beres-beres. Saya melihat tenda yang semalam menjadi sumber suara tangisan itu. Penghuninya ternyata sedang masak. Saya menghampiri dan bertanya “Mas tadi malam ada yang nangis ya?” Mereka bingung dan bilang tenda mereka semua laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan. Jawaban itu membuat saya terdiam. Kalau bukan dari tenda… suara itu dari mana?.

Perjalanan turun dimulai siang menjelang sore. Jalur turun terasa lebih licin karena tanah lembap. Saya berjalan di posisi tengah, sementara Jack dan Syahid sesekali turun duluan. Pak luthfi terlihat paling banyak berhenti karena kelelahan.

Di tengah perjalanan, ada satu kejadian yang membuat saya sedikit merinding. Saya mendengar suara langkah cepat dari belakang, seperti seseorang menuruni batuan dengan tergesa. Saya pikir itu guru atau alumni yang menyusul, jadi saya menepi. Tapi saat melihat ke belakang, jalurnya kosong.

Tidak ada siapa-siapa.

Saya menghela napas panjang. Tidak mau terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting. Bisa saja itu suara dari jalur lain atau daun jatuh. Saya melanjutkan perjalanan dengan menempel ke rombongan.

Tak lama setelah itu, ada kejadian kecil. Seekor lebah tiba-tiba menempel di baju Akbar. Ia takut. Untung lebahnya terbang lagi. Tapi anehnya, setelah itu suasana jadi hening sekali, seolah semua suara di hutan hilang sesaat. Kami berjalan cepat untuk keluar dari area pepohonan rapat yang terasa “berat”.

Dejavu di Turunan Curam

Semakin dekat ke area turunan curam menuju perkebunan warga, firasatku makin kuat. Ini bagian turunan yang saya takuti sejak awal. Karena sebelum berangkat saya sudah melihat kecelakaan motor terpeleset di depan kuburan Kalibata. Adegan itu terulang lagi di kepalaku.

Dan benar saja…

Di turunan curam itu, Bagol dan Akbar berlari dempet-dempetan. Saya melihatnya jelas. Tepat seperti firasatku. Bagol berhasil berhenti, tapi Akbar tidak. Langkahnya hilang kendali, dan ia terpeleset sendiri, jatuh ke depan tepat di jalur Aspal. Wajahnya membentur  keras.

Saya langsung merinding. Itu benar-benar mirip kejadian motor yang saling menempel lalu terpeleset sendiri.

Guru kami panik, alumni juga langsung berlari menghampiri. Kebetulan ada warga setempat atau orang pintar mungkin yang sedang berada di tempat kejadian. Dialah yang menolong pertama kali dan memeriksa kondisi Akbar.

Saat itulah saya akhirnya memberanikan diri cerita ke guru tentang firasat saya. Sejak di Kalibata tentang kecelakaan motor, motor terpeleset di depan kuburan, mimpi buruk, dan suara tangisan semalam.

Setelah itu, kami akhirnya tiba di titik di mana mobil losbak sudah menunggu. Badan kami sudah terlalu lelah untuk berjalan jauh. Guru kami berbicara sebentar dengan sopir, lalu kami semua naik ke bak belakang, tas disusun, dan kami duduk  sambil mengatur napas.

Begitu mesin losbak dinyalakan, kendaraan itu mulai bergerak pelan menyusuri jalan tanah yang menurun. Angin sore terasa sejuk, tetapi jalanan bergelombang membuat badan kami ikut terguncang. Tawa kecil terdengar dari Jack dan Syahid, mungkin untuk menghilangkan tegang.

Namun di tengah perjalanan, saat losbak melewati tanjakan dan turunan tajam yang sama seperti waktu naik, saya kembali merasa sedikit waspada. Jalan yang licin membuat ban beberapa kali selip ringan. Semua langsung memegang sisi bak lebih kuat.

Saya duduk di sisi kiri losbak dan sesekali melihat ke belakang, memperhatikan jalur yang baru saja kami lalui. Ada rasa aneh, campuran syukur karena sudah turun, dan sedikit merinding mengingat kejadian-kejadian sepanjang pendakian. Seolah gunung itu masih memperhatikan kami sampai benar-benar pergi.

Losbak terus melaju hingga akhirnya jalanan mulai rata dan bangunan basecamp pun sudah terlihat. Kami semua  merasa lega.

PENUTUP

Sesampainya di basecamp, kami duduk berjejer di lantai , melepaskan tas dan jaket yang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Ada yang langsung rebahan, ada yang sibuk melihat foto-foto pendakian, ada juga yang masih membahas kejadian-kejadian selama pendakian. Guru kami hanya tersenyum sambil mengawasi kami satu per satu, memastikan tidak ada yang benar-benar terluka serius selain lecet dan memar.

Saya memandang jalur yang baru saja kami turuni. Dari kejauhan, garis pendakian itu terlihat seperti garis tipis yang memanjang ke arah hutan. Rasanya sulit dipercaya bahwa kurang dari sehari yang lalu kami berada di puncak, dan beberapa jam sebelumnya saya melewati malam yang penuh mimpi buruk. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan seperti firasat, suara tangisan, mimpi yang berulang, bahkan kejadian kecil yang terasa seperti pertanda. Tapi semua itu justru membuat perjalanan ini bermakna dengan caranya sendiri.

Perjalanan Cikuray kali ini bukan hanya tentang mencapai puncak. Lebih dari itu, ini tentang bagaimana perasaan, kejadian kecil, dan firasat bisa membentuk cara seseorang melihat sebuah perjalanan. Tentang bagaimana rasa takut, cemas, dan kewaspadaan justru mengajarkan bahwa setiap langkah di alam memiliki tanggung jawabnya sendiri.

Ketika matahari mulai turun di balik bukit, saya menutup hari itu dengan satu kesimpulan sederhana: gunung tidak pernah benar-benar menakutkan. Yang menakutkan adalah ketika kita mengabaikan tanda-tanda kecil yang sebenarnya sudah muncul sejak awal. Dan pengalaman di Cikuray ini dengan segala keanehan, kekhawatiran, dan kejutan yang ikut menyertainya akan selalu menjadi cerita yang suatu hari akan kuceritakan lagi.

Bukan untuk menakut-nakuti.Bukan untuk membesar-besarkan.Tapi untuk mengingat bahwa setiap perjalanan memiliki caranya sendiri untuk berbicara kepada kita.

Dan Cikuray… sudah berbicara dengan caranya yang paling halus.



*) Penulis adalah Farhan Azis, Mahasiswa Akuntansi Universitas Pamulang.

Komentar0

Type above and press Enter to search.