GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

“Kelapa yang Hanyut Tak Kehilangan Rasa”: Pembelajaran Bahasa Jawa Diaspora PERWAJA dan KKN Internasional Tyasmalaka UNESA

Program Mengajar Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Internasional Universitas Negeri Surabaya di Kampung Paya Dalam, Malaka, Malaysia. (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Malaka - Bahasa Jawa tidak hanya hidup di Pulau Jawa. Di negeri jiran Malaysia, khususnya di Malaka, bahasa dan budaya Jawa masih berdenyut kuat dalam kehidupan diaspora keturunan Jawa. Jejak migrasi leluhur sejak ratusan tahun lalu menjadikan Malaka sebagai salah satu pusat komunitas Jawa di luar Indonesia yang hingga kini tetap menjaga identitasnya.

Tidak sedikit warga Malaysia keturunan Jawa terutama generasi tua berusia 60, 70, bahkan 80 tahun ke atas yang dengan bangga menyatakan diri mereka sebagai orang Jawa. Meski hidup dan menjadi warga negara Malaysia, identitas kejawaan tetap melekat kuat. Bahkan, sejumlah pejabat penting di Malaysia diketahui berasal dari keturunan Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa pun diwariskan secara turun-temurun, mulai dari tradisi slametan dengan nasi ambeng, hingga kuliner khas seperti pastel yang dimodifikasi dengan isian kari, menyesuaikan cita rasa lokal tanpa meninggalkan akar budaya.

Dalam konteks inilah, revitalisasi bahasa Jawa bagi diaspora menjadi penting, tidak hanya sebagai upaya pelestarian budaya, tetapi juga sebagai sarana diplomasi bahasa dan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Antusiasme komunitas diaspora pun terlihat nyata. Tak hanya masyarakat umum, pensiunan dosen dan tokoh-tokoh senior diaspora Jawa di Malaka turut bersemangat mengikuti kelas bahasa Jawa sebagai ruang nostalgia sekaligus pembelajaran.

Upaya tersebut diwujudkan melalui program KKN Internasional Tyasmalaka dari mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Program ini merupakan bagian dari proyek kemanusiaan yang berfokus pada pengabdian masyarakat, khususnya dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa di luar negeri. Salah satu sasaran utama kegiatan ini adalah diaspora Jawa yang tergabung dalam PERWAJA (Persatuan Warisan Anak Jawa) yang beralamat di Kampung Paya Dalam, 75460 Ayer Molek, Malaka, Malaysia.

Pembelajaran bahasa Jawa dikemas secara kreatif dan kontekstual melalui metode cakra manggilingan, yakni pendekatan yang menjelaskan siklus kehidupan manusia mulai dari fase Maskumambang hingga Pocung. Pada setiap fase kehidupan tersebut, disisipkan materi kebahasaan dan nilai unggah-ungguh basa Jawa. Misalnya, pada fase Dhandhanggula yang merepresentasikan kehidupan berumah tangga, peserta diajak memahami penggunaan krama inggil, terutama bagaimana seorang istri berkomunikasi dengan suami secara santun.

Metode ini semakin hidup dengan kegiatan role playing. Salah satu peserta diaspora bernama Supeni bersama istrinya mendapat kesempatan maju ke depan kelas untuk memerankan dialog antar tetangga. Dalam adegan tersebut, Siti bertanya, “Kowe ape neng ndi?” (Kamu mau ke mana?). Supeni menjawab, “Arep budhal priksa, bojoku lara” (Mau berangkat periksa, pasangan saya sakit). Namun, Supeni sempat keliru mengucapkan frasa bojoku loro yang berarti “pasangan saya dua,” sehingga spontan mengundang gelak tawa seluruh kelas. Momen ini justru mencairkan suasana dan menjadi sarana pembelajaran yang berkesan.

Salah satu mahasiswa UNESA, Lina Larasati, mengungkapkan bahwa masih banyak tantangan dalam pengajaran bahasa Jawa di lingkungan diaspora. Menurutnya, pengetahuan tentang tingkatan bahasa Jawa antara ngoko dan krama sudah semakin minim diturunkan dari generasi tua kepada generasi muda. Dalam praktik sehari-hari, baik tua maupun muda cenderung menggunakan ngoko.

“Kami sebagai pengajar menghadapi dilema. Jika menggunakan ngoko, secara etika terasa kurang sopan ketika berbicara dengan yang lebih tua. Tetapi jika menggunakan krama, banyak yang tidak memahami. Mengajarkan bahasa Jawa dengan pengantar bahasa Melayu juga tidak kalah menantang,” ujar Lina.

Ia menambahkan, program kelas bahasa Jawa ini diharapkan dapat terus berlanjut, tidak hanya menyasar generasi tua yang rindu berbahasa Jawa dan rindu tanah leluhur, tetapi juga generasi muda diaspora Jawa di Malaysia. Minimnya guru bahasa Jawa di wilayah tersebut menyebabkan pembelajaran bahasa Jawa selama ini hanya berlangsung secara lisan dari mulut ke mulut, tanpa pendampingan akademis yang memadai.

“Diaspora Jawa di Malaysia ini ibarat buah kelapa di pantai yang hanyut, lalu tumbuh dan hidup di pantai baru. Mungkin rasanya sedikit berbeda, tempat hidupnya pun berbeda, tetapi sejatinya tetap kelapa yang sama,” tutup Lina yang pernah mendengarkan pidato rektor ASWARA menggambarkan jati diri Jawa yang tetap hidup meski berada jauh dari tanah asal. Melalui KKN Internasional Tyasmalaka, mahasiswa UNESA tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga merawat ingatan, identitas, dan jembatan budaya yang menghubungkan Jawa di Indonesia dan Jawa di Malaysia.

Komentar0

Type above and press Enter to search.