| Mahasiswi Leony Margareta Bersama Bu Aryani Widagdo |
Suara Time, Surabaya – Dari potongan kain sisa yang hampir dibuang, Leony Margareta, mahasiswi desain asal Surabaya, justru melahirkan karya sarat makna. Lewat tiga syal bertema Kintsugi dan metamorfosis kupu-kupu, ia membuktikan bahwa keindahan sejati lahir dari proses perbaikan.
“Kintsugi memperlihatkan retakan emas pada keramik pecah, bukan untuk menyembunyikan cacat, tapi menjadikannya daya tarik. Dalam fashion, ini sangat relevan dengan konsep upcycle, karena menunjukkan proses perbaikan sebagai keindahan,” tutur Bu Aryani Widagdo, pendiri Arva School of Fashion Surabaya. Beliau menambahkan, “Produk yang ada unsur rusak, retak, atau tambalan justru bisa terlihat indah seperti memberi nyawa pada sesuatu yang tidak sempurna.”
Tiga syal rancangan Leony menggambarkan tiga fase metamorfosis kupu-kupu. Syal pertama, terinspirasi dari fase larva, memancarkan kesederhanaan dan semangat awal perubahan. Warna biru muda dan biru tua berpadu lembut, sementara potongan kain denim, katun, satin, dan tweed disusun dengan teknik patchwork dan jahitan zig-zag emas. Setiap potongan menjadi simbol kekuatan untuk memulai perjalanan baru.
Syal kedua menggambarkan fase kepompong. Dengan pola geometris hitam-putih, desain ini menciptakan tekstur tiga dimensi yang merepresentasikan fase transisi tertutup namun penuh potensi. Dalam setiap sambungan, tampak usaha menyatukan kembali bagian yang “retak” menjadi harmoni baru.
Syal ketiga menampilkan puncak keindahan metamorfosis kupu-kupu. Kain jacquard dan satin shimmer membentuk mozaik lembut bernuansa pastel, dihiasi bordir emas dan ornamen kupu-kupu tiga dimensi. Desain ini merepresentasikan kebebasan, penyembuhan, dan keanggunan setelah melewati proses panjang perubahan.
| Hasil Rancangan Syal Leony Bertema Kintsugi dan Metamorfosis Kupu-Kupu dengan Konsep Upcycling |
Bagi Christina Tanujaya, AdvDip, B.Des, MBA, dosen pembimbing Leony, karya ini menunjukkan pemahaman konseptual yang matang antara estetika dan filosofi hidup. “Leony berhasil menggabungkan riset dan kreativitas dalam satu benang merah. Ia tidak hanya membuat produk, tapi menuturkan cerita penyembuhan, keberlanjutan, dan transformasi melalui desain yang penuh makna,” jelas Christina.
Hal senada disampaikan oleh Rose Aprilia Lani Kartini, S.Sn., M.Pd., dosen pembimbing. Ia menilai karya ini mencerminkan semangat baru dalam pendidikan desain berkelanjutan. “Proses kreatif Leony menunjukkan bahwa kain bekas bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi tanpa kehilangan sisi artistiknya. Ini sejalan dengan tren global slow fashion dan tanggung jawab ekologis,” ujar Rose.
Namun di balik setiap jahitan emasnya, Leony juga menenun perjalanan pribadinya. “Setiap potongan kain seperti bagian dari diri saya yang belajar menerima ketidaksempurnaan,” ungkapnya. “Proses menjahit ini menjadi refleksi dari bagaimana saya tumbuh menghadapi tantangan sebagai desainer muda.”
Karya Leony bukan sekadar fesyen, tapi perjalanan batin tentang menerima dan merangkul retakan kehidupan. Seperti emas dalam Kintsugi yang menyatukan pecahan keramik, setiap jahitan pada syalnya menjadi simbol harapan baru.
“Saya ingin setiap orang yang memakai syal ini merasa bahwa keindahan tidak harus sempurna,” ujar Leony sambil tersenyum. “Justru dari luka dan retakanlah cahaya bisa masuk.”
Komentar0