![]() |
| Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM. (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Jakarta — Gelombang perdebatan publik meningkat setelah beredarnya pemberitaan salah satu media nasional bertajuk “5 Kontroversi Bahlil selama Menjabat Menteri ESDM” di salah satu portal berita nasional yang ramai dibagikan di media sosial. Berita tersebut memuat berbagai isu mulai dari kebijakan etanol, distribusi LPG 3 kilogram, hingga perizinan tambang yang kemudian menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Beberapa pengamat menilai, pola pemberitaan semacam ini berpotensi menggiring opini tanpa memberikan ruang bagi klarifikasi dan verifikasi yang seimbang.
Dalam praktik jurnalistik, framing atau pembingkaian berita memang penting untuk memperjelas konteks. Namun, jika dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional, framing dapat berubah menjadi bias dan menciptakan distorsi pemahaman publik. Penggabungan berbagai isu yang tidak saling terkait dalam satu bingkai “kontroversi” justru memperkuat kesan salah terhadap seseorang sebelum bukti diuji. Karena itu, keseimbangan antara konteks dan verifikasi menjadi kunci menjaga integritas jurnalisme.
Prinsip dasar pers yang sehat ialah menyajikan informasi berdasarkan proporsi, bukan persepsi. Media memiliki hak mengkritik, tetapi juga kewajiban moral untuk menegakkan keadilan informasi. Dalam situasi politik yang sensitif, berita yang menonjolkan sisi emosional dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga negara sekaligus merusak kredibilitas media sendiri.
Direktur Gagas Nusantara Romadhon Jasn mengingatkan agar media lebih berhati-hati dalam menulis berita kebijakan publik. Ia menilai kebebasan pers merupakan fondasi demokrasi yang tidak boleh dijalankan tanpa tanggung jawab etis. "Menyoroti pejabat publik itu wajar, tetapi mencampuradukkan isu yang belum diverifikasi hanya akan menimbulkan kebingungan publik,” ujar Romadhon Jasn, dalam keterangan tertulis di Jakarta, selasa (4/11/2025).
Fenomena pemberitaan yang menonjolkan kontroversi tanpa konteks, lanjut Romadhon, membuat substansi kebijakan sering tenggelam. Masyarakat disuguhi perdebatan tanpa arah, sementara fakta dan solusi hilang di balik judul provokatif. Ia menilai, media seharusnya menjadi ruang pencerahan, bukan panggung opini yang menimbulkan kebingungan. Dalam kasus Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, misalnya, banyak kebijakan energi yang sebenarnya masih dalam tahap transisi dan evaluasi, namun dipersepsikan seolah gagal total hanya karena narasi yang dibingkai sepihak.
Romadhon menambahkan, tanggung jawab menjaga keseimbangan informasi tidak hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga media. Pemerintah perlu membuka data secara transparan agar tidak menimbulkan spekulasi, sedangkan media wajib melakukan verifikasi secara profesional sebelum menayangkan berita.
“Kritik yang tajam itu sehat, tetapi bila tajamnya tanpa data, justru melukai kepercayaan publik,” katanya.
Ia juga menyoroti kecenderungan media berlindung di balik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya mekanisme hak jawab, untuk menghindari tanggung jawab atas kesalahan yang berulang. Padahal, Pasal 5 ayat (1) menegaskan kewajiban pers untuk memberitakan secara berimbang dan menghormati asas praduga tak bersalah, sementara Pasal 18 ayat (2) menyebutkan adanya sanksi bagi pelanggaran yang merugikan publik. “Hak jawab tidak boleh jadi perisai dari praktik pemberitaan yang keliru,” demikian penilaiannya.
Romadhon menekankan, hasil sejumlah survei publik menunjukkan masyarakat mendambakan media yang adil, faktual, dan tidak berpihak. Jika kesalahan jurnalistik terus diulang tanpa konsekuensi tegas, bukan hanya reputasi media yang rusak, tetapi juga legitimasi demokrasi yang terganggu. Ia menyarankan agar Dewan Pers memperkuat mekanisme etik agar sanksi tidak berhenti pada klarifikasi, melainkan berdampak pada perubahan perilaku redaksi.
Para pemerhati komunikasi publik menilai, media memiliki kekuatan besar membentuk logika sosial bangsa. Karena itu, integritas dan kehati-hatian harus menjadi benteng utama dalam setiap proses jurnalistik. Di tengah banjir informasi digital, akurasi dan konteks jauh lebih penting daripada kecepatan dan sensasi.
Romadhon menegaskan, demokrasi hanya akan tumbuh bila pemerintah, media, dan masyarakat berjalan dalam keseimbangan. Ia menilai, tiga pilar ini akan saling menguatkan bila dijaga dengan transparansi, tanggung jawab, dan daya kritis yang sehat. “Kalau tiga hal itu berjalan bersama, bangsa ini bisa belajar dari kesalahan tanpa kehilangan kepercayaan,” tutup Romadhon Jasn.

Komentar0