GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Ketidakpastian Penegakan Hukum di Indonesia: Hukum yang "Pay to Win"?

Habibur Rohman, Ketua Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta (KMSY). (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Penegakan hukum di Indonesia pada tahun 2025 masih menjadi topik yang memicu keresahan di kalangan masyarakat. Meskipun regulasi hukum telah dirancang dengan jelas dan terperinci, implementasinya sering kali terasa lemah, tidak konsisten, dan rentan terhadap manipulasi. Sentimen publik di media sosial, khususnya di platform X, mencerminkan persepsi yang kini semakin menguat: hukum di Indonesia bersifat "pay to win," di mana mereka yang memiliki sumber daya finansial atau koneksi kuat tampak lebih mudah lolos dari jerat hukum. Fenomena ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, tetapi juga mengancam prinsip keadilan yang menjadi fondasi negara hukum. Artikel ini akan menggali akar masalah ketidakpastian penegakan hukum, dampaknya terhadap masyarakat, dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki sistem.

Akar Masalah Ketidakpastian Penegakan Hukum

Ketidakpastian penegakan hukum di Indonesia bukanlah isu baru, tetapi telah menjadi luka kronis dalam sistem peradilan. Salah satu faktor utama adalah inkonsistensi dalam penerapan hukum. Meskipun undang-undang dan peraturan telah dirumuskan dengan baik, aparat penegak hukum—baik polisi, jaksa, maupun hakim—sering kali menghadapi tekanan eksternal, seperti intervensi politik atau iming-iming finansial. Kasus-kasus korupsi tingkat tinggi, misalnya, kerap menunjukkan bagaimana pelaku dengan koneksi kuat dapat menghindari hukuman berat, sementara pelaku dari kalangan biasa menghadapi sanksi yang jauh lebih tegas untuk pelanggaran serupa.

Selain itu, rendahnya integritas aparat penegak hukum menjadi faktor penting. Banyak laporan tentang oknum polisi atau jaksa yang terlibat dalam praktik suap atau kolusi. Fenomena ini diperparah oleh kurangnya pengawasan yang efektif terhadap kinerja aparat. Badan-badan pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering kali menghadapi keterbatasan wewenang, terutama setelah perubahan regulasi seperti UU BUMN terbaru yang menghapus status direksi dan komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara. Hal ini membuat KPK kehilangan kewenangan untuk menangani kasus korupsi di sektor BUMN, yang notabene merupakan ladang subur praktik korupsi.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah akses terhadap keadilan yang tidak merata. Masyarakat dengan sumber daya terbatas sering kali kesulitan mendapatkan pembelaan hukum yang memadai. Biaya litigasi yang tinggi, kurangnya akses ke pengacara berkualitas, dan proses hukum yang berbelit-belit membuat banyak warga kecil merasa hukum hanya berpihak pada mereka yang mampu membayar. Akibatnya, muncul persepsi bahwa hukum adalah alat bagi elite, bukan pelindung bagi semua.

Dampak Ketidakpastian Penegakan Hukum

Ketidakpastian penegakan hukum memiliki dampak yang luas, baik secara sosial maupun politik. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum terus merosot. Ketika hukum dianggap bisa "dibeli," warga kehilangan rasa hormat terhadap otoritas hukum, yang pada gilirannya dapat memicu ketidakpatuhan terhadap hukum. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya kasus main hakim sendiri, di mana masyarakat merasa perlu mengambil tindakan sendiri karena tidak percaya pada sistem peradilan.

Kedua, ketidakpastian hukum menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi investasi dan pembangunan ekonomi. Investor, baik domestik maupun asing, membutuhkan kepastian hukum untuk menjalankan bisnis mereka. Jika hukum dapat dengan mudah dimanipulasi, risiko korupsi dan ketidakpastian kontrak meningkat, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang dengan persepsi korupsi yang tinggi, yang berkorelasi erat dengan lemahnya penegakan hukum.

Ketiga, ketidakpastian hukum memperlebar ketimpangan sosial. Ketika hukum hanya melindungi mereka yang memiliki kuasa, kelompok marginal dan masyarakat miskin menjadi semakin rentan. Kasus-kasus seperti penggusuran lahan atau pelanggaran hak buruh sering kali tidak mendapatkan keadilan karena pelaku utama memiliki backing politik atau finansial. Hal ini memperkuat narasi bahwa hukum adalah alat opresi, bukan alat pembebasan.

Langkah Menuju Reformasi Penegakan Hukum

Untuk mengatasi ketidakpastian penegakan hukum, diperlukan reformasi yang komprehensif dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

Meningkatkan Integritas Aparat Penegak Hukum

Reformasi harus dimulai dari dalam institusi penegak hukum itu sendiri. Peningkatan gaji dan kesejahteraan aparat dapat mengurangi godaan untuk menerima suap. Selain itu, pelatihan berkelanjutan tentang etika dan integritas harus menjadi bagian dari kurikulum wajib bagi polisi, jaksa, dan hakim. Sistem pengawasan internal yang independen juga perlu diperkuat untuk mendeteksi dan menangani pelanggaran sejak dini.

Memperkuat Badan Pengawas

Badan seperti KPK dan Komisi Yudisial perlu diberi wewenang yang lebih kuat dan independen. Revisi UU yang melemahkan pengawasan, seperti UU BUMN, harus ditinjau ulang untuk memastikan bahwa tidak ada celah bagi pelaku korupsi untuk lolos. Selain itu, transparansi dalam proses pengawasan harus ditingkatkan agar masyarakat dapat memantau kinerja badan-badan ini.

Memperluas Akses terhadap Keadilan

Pemerintah perlu memperluas program bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin. Organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dapat didukung dengan dana publik untuk membantu warga yang tidak mampu. Selain itu, digitalisasi proses hukum, seperti pengajuan gugatan secara online, dapat mengurangi biaya dan waktu yang diperlukan untuk mengakses keadilan.

Mengadopsi Teknologi untuk Transparansi

Teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi dalam sistem hukum. Misalnya, AI dapat membantu menganalisis putusan hakim untuk mendeteksi pola ketidakkonsistenan atau potensi korupsi. Sistem berbasis blockchain juga dapat digunakan untuk mencatat dokumen hukum agar tidak dapat dimanipulasi. Namun, penggunaan teknologi harus diimbangi dengan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Edukasi Hukum untuk Masyarakat

Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang hak dan kewajiban mereka di bawah hukum. Kampanye edukasi hukum melalui media sosial atau program komunitas dapat meningkatkan kesadaran warga, sehingga mereka lebih mampu menuntut keadilan. Sekolah-sekolah juga dapat memasukkan pendidikan hukum dasar dalam kurikulum untuk membentuk generasi yang lebih sadar hukum.

Ketidakpastian penegakan hukum di Indonesia adalah tantangan serius yang mengancam keadilan dan demokrasi. Persepsi bahwa hukum bersifat "pay to win" tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga memperlebar ketimpangan sosial dan menghambat pembangunan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi menyeluruh yang mencakup peningkatan integritas aparat, penguatan pengawasan, perluasan akses keadilan, pemanfaatan teknologi, dan edukasi masyarakat. Tanpa langkah-langkah konkret, hukum akan terus menjadi alat bagi yang kuat, bukan pelindung bagi yang lemah. Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan sistem hukum yang adil, transparan, dan konsisten—dan ini adalah tanggung jawab bersama untuk mewujudkannya.


*) Penulis adalah Habibur Rohman, Ketua Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta (KMSY), dan merupakan mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar0

Type above and press Enter to search.