Sumber: united nations, 2025
Suara Time, Opini - Di tengah gemuruh suara dunia yang bising, ada kalanya satu suara memecah keheningan, mengingatkan kita akan kemanusiaan yang terabaikan. Di Sidang Umum PBB ke-80, kita menyaksikan dua pidato bersejarah yang menyentuh relung hati terdalam, yakni salah satu berasal dari seorang perempuan, Presiden Slovenia Nataša Pirc Musar, dan satu lagi dari seorang pemimpin yang lebih dikenal di ranah Asia, Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Keduanya mengangkat isu yang tak terelakkan: genosida di Gaza, sebuah tragedi yang seolah tak pernah menemukan titik terang dalam diplomasi dunia. Namun, dalam pidato-pidato mereka, ada secercah harapan yang memancar, seolah dunia kembali diberi kesempatan untuk merenung.
Perempuan dan Kepemimpinan: Membuka Mata Dunia terhadap Kemanusiaan Gaza
Presiden Slovenia, Nataša Pirc Musar, dengan keberanian seorang perempuan yang teruji, berdiri di hadapan dunia dan mengungkapkan kekecewaannya terhadap ketidakberdayaan PBB dalam menghentikan kekerasan yang terus berlangsung di Gaza. Musar, yang memimpin negara kecil dengan semangat besar, tidak hanya berbicara tentang kebijakan dan perjanjian internasional, tetapi ia menyuarakan suara kemanusiaan yang lebih dalam. “Tidak ada alasan lagi untuk tidak bertindak menghentikan genosida di Gaza,” tegasnya, seakan menyadarkan kita bahwa sudah saatnya kita berhenti berdebat tentang proses, dan mulai bertindak untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang tak bersalah (United Nations, 2025).
Dalam konteks ini, kita tak bisa mengabaikan pentingnya perspektif perempuan dalam politik internasional. Judith Squires, dalam Gender in Political Theory (1999), mengungkapkan bahwa perempuan sering kali membawa elemen kemanusiaan yang lebih tajam dalam setiap kebijakan yang mereka usulkan. Keberanian Musar untuk berbicara dengan tegas bukan hanya mencerminkan kepemimpinan perempuan yang kuat, tetapi juga keberanian untuk melawan arus sistem internasional yang sering kali lebih mementingkan kepentingan politik daripada nyawa manusia. Presiden Musar, dalam pidatonya, menghadirkan konsep keberanian yang jarang terlihat dalam politik global yang penuh keberanian untuk menuntut perubahan dalam sistem yang telah gagal berkali-kali. Pidatonya seolah menjadi seruan bagi dunia untuk melihat Gaza bukan hanya sebagai wilayah yang terjepit dalam sengketa politik, tetapi sebagai tempat di mana hak-hak dasar manusia harus dihormati (Squires, 1999).
Prabowo: Ketegasan Indonesia dalam Krisis Gaza
![]() |
Sumber: united nations, 2025 |
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dari Indonesia, dalam pidatonya, juga menunjukkan ketegasan yang tak kalah penting. Di hadapan dunia, Prabowo berbicara tentang keadilan yang seharusnya diberikan kepada Palestina, mengingatkan kita bahwa solusi damai antara Palestina dan Israel adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mencapai perdamaian yang langgeng. Ia menyerukan agar PBB tidak hanya menjadi forum untuk diskusi, tetapi harus bertindak tegas dalam menghadapi ketidakadilan yang terjadi di Gaza (United Nations, 2025).
Namun, meskipun pidato Prabowo penuh dengan semangat dan keyakinan, ada satu pertanyaan yang menggantung: Apakah cukup bagi negara-negara besar untuk sekadar mengeluarkan kritik? Ataukah dunia, yang selama ini menunggu aksi nyata, harus mendengarkan lebih banyak suara seperti Indonesia yang berani menyuarakan kebenaran tanpa takut akan konsekuensi politik? Seperti yang dikatakan Carole Pateman dalam The Sexual Contract (1997), dunia internasional sering kali terjebak dalam politik kekuasaan yang mempertahankan status quo, mengabaikan suara-suara yang berani memperjuangkan perubahan. Di sinilah, pidato Prabowo menjadi pengingat bahwa keadilan dunia tidak akan tercapai hanya dengan kata-kata, ia harus diwujudkan dalam tindakan (Pateman, 1997).
Kepemimpinan Perempuan: Lebih dari Sekadar Representasi!!
Namun, di balik kedua pidato ini, ada satu hal yang perlu direnungkan lebih dalam: Mengapa kepemimpinan perempuan, seperti yang ditunjukkan oleh Musar, sangat penting dalam merespons krisis kemanusiaan global? Kepemimpinan perempuan bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang membawa perubahan dalam cara kita memandang kekuasaan dan keadilan. Anne Phillips, dalam The Politics of Presence (1998), menyatakan bahwa kehadiran perempuan dalam politik internasional lebih dari sekadar memenuhi kuota, tetapi untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak hanya mencerminkan kepentingan negara besar, tetapi juga hak-hak manusia yang lebih mendasar. Di sini, Musar menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk memimpin dengan keberanian dan empati layaknya dua elemen yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi konflik berdarah seperti di Gaza (Phillips, 1998).
Kedua pidato ini, meskipun datang dari latar belakang yang berbeda, atu dari pemimpin perempuan dan satu lagi dari pemimpin negara besar Asia yang mengandung pesan yang sama: bahwa genosida Gaza adalah krisis kemanusiaan yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Baik Musar maupun Prabowo berbicara dengan satu tujuan yang sama: keadilan untuk Palestina dan penghentian kekerasan yang tiada henti.
***
* Penulis: Nararya Khalil Rusyda (Mahasiswa Semester 5 Ilmu Politik, Universitas Indonesia)
Komentar0