![]() |
Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Opini - Indonesia sering disebut sebagai negara yang non-blok,
tidak berpihak pada kekuatan mana pun.
Kalimat itu sudah kita dengar sejak bangku sekolah, diwariskan dari semangat Konferensi
Asia-Afrika 1955 yang dibanggakan sebagai simbol kemandirian bangsa.
Tapi pertanyaannya sekarang:
apakah “tidak berpihak” masih cukup di dunia yang berubah secepat ini?
Dunia Sudah
Berbeda
Dulu, dunia terbagi dua: Barat dan Timur,
Amerika dan Uni Soviet.
Kini, peta kekuatan global jauh lebih rumit. Persaingan tidak hanya soal
senjata, tapi juga soal teknologi, ekonomi, energi, bahkan informasi.
Perang Rusia-Ukraina membuat harga pangan
melonjak.
Persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok memengaruhi pasokan chip dan ekonomi
dunia.
Bahkan kebijakan perubahan iklim kini bisa menjadi alat tekanan politik.
Jadi, ketika dunia kembali panas, apakah
Indonesia akan terus bertahan dengan slogan “bebas-aktif” tanpa strategi
konkret?
Bebas-Aktif,
Tapi Jangan Pasif
“Bebas-aktif” bukan berarti diam.
Justru, itu seharusnya berarti mandiri dan berinisiatif.
Masalahnya, dalam praktiknya, kita sering
hanya menonjolkan kata “bebas” dan lupa bahwa “aktif” juga penting.
Negara seperti India dan Turki sama-sama
non-blok, tapi mereka punya strategi global yang jelas.
India berani bernegosiasi dengan Amerika dan Rusia sekaligus, sementara Turki
memainkan peran ganda di NATO tapi tetap menjaga hubungan dengan Tiongkok.
Artinya, menjadi non-blok tidak sama dengan
menjadi penonton.
Kita tetap bisa netral secara politik, tapi aktif secara strategis.
Dari
Reaktif ke Proaktif
Indonesia sering bersuara setelah krisis
terjadi—entah saat konflik Laut Cina Selatan memanas, atau ketika situasi di
Gaza memburuk.
Tapi di dunia diplomasi modern, yang paling berpengaruh adalah negara yang
bergerak lebih dulu.
Negara-negara besar membentuk narasi global,
menentukan standar ekonomi digital, hingga memimpin isu energi hijau.
Jika Indonesia ingin diakui sebagai pemimpin kawasan, kita perlu berani mendefinisikan
visi global sendiri, bukan sekadar merespons isu yang sudah ditentukan
pihak lain.
Membangun
Strategi Global ala Indonesia
Strategi global tidak berarti ikut dalam
perlombaan senjata atau memilih sekutu permanen.
Strategi berarti punya arah dan rencana besar—bagaimana memanfaatkan
posisi geografis, sumber daya, dan pengaruh budaya untuk mencapai kepentingan
nasional.
Indonesia punya potensi besar:
menjadi pusat ekonomi hijau, pemain utama dalam teknologi berkelanjutan, dan jembatan
diplomasi antarblok dunia.
Kita juga punya soft power luar
biasa—budaya, toleransi, dan narasi kemanusiaan yang bisa menjadi “merek”
Indonesia di dunia.
Tapi semua potensi itu akan sia-sia tanpa arah strategis yang jelas.
Dari
Non-Blok ke Smart Strategy
Kita patut bangga dengan sejarah non-blok.
Tapi di abad ke-21 ini, dunia tidak menunggu siapa yang netral—dunia menunggu
siapa yang punya arah.
Sudah waktunya Indonesia melangkah lebih jauh:
tidak hanya bebas dan aktif, tapi juga cerdas dan strategis.
Bukan berarti meninggalkan nilai lama, tapi memperbaruinya agar relevan dengan
zaman baru.
Bangsa besar tidak cukup hanya “tidak
berpihak.”
Bangsa besar adalah yang tahu kapan harus melangkah, ke mana harus menuju, dan
bagaimana menjaga kepentingannya di tengah badai global.
✍️ Penulis: Michael Joe,
📍 Pemerhati Hubungan Internasional dan Isu
Geopolitik Kontemporer.
Komentar0