GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Membangun Generasi Penulis Anti Hoaks di Era Digital


Oleh:
Muhammad Rafy Bremara

Suara Time, Pendidikan - Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, menjadi penulis dan jurnalis yang berpihak pada kebenaran bukan sekadar pilihan melainkan panggilan moral. Era digital telah membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk berbicara, menulis, dan menyebarkan informasi. Namun, di balik kebebasan itu, muncul tantangan besar: maraknya hoaks yang menggerus kepercayaan publik dan mengaburkan batas antara fakta dan opini.

Kegiatan Penyuluhan Jurnalistik dan Kepenulisan yang digelar oleh AR Learning pada 26 Oktober 2025 menjadi refleksi penting atas kondisi ini. Melalui tema “Menjadi Jurnalis dan Penulis Anti Hoax dalam Membangun Peradaban Literasi”, kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teknis menulis berita, melainkan sebuah upaya membangun kesadaran moral bahwa pena bukan hanya alat, tapi tanggung jawab.

Jurnalisme di Tengah Krisis Kepercayaan

Publik kini lebih banyak mengonsumsi informasi dari media sosial ketimbang media arus utama. Akibatnya, siapa pun bisa menjadi “jurnalis dadakan” tanpa proses verifikasi yang benar. Di sinilah pentingnya membangun kembali makna profesi jurnalis sebagaimana ditegaskan oleh pemateri, Aditya: jurnalis sejati bukan hanya menulis, tetapi juga menjaga kepercayaan publik.

 Dalam konteks ini, jurnalisme tak sekadar soal kecepatan, tetapi tentang ketepatan. Kecepatan tanpa akurasi hanyalah sensasi. Jurnalis dan penulis yang beretika tahu bahwa kebenaran adalah napas utama dari setiap tulisan.

Literasi sebagai Benteng Bangsa

Bangsa yang lemah literasi akan mudah diprovokasi. Ia akan percaya pada judul bombastis, termakan narasi palsu, dan kehilangan kemampuan berpikir kritis. Karena itu, pelatihan semacam ini menjadi penting—bukan hanya untuk mencetak jurnalis, tetapi juga warga digital yang sadar akan tanggung jawab informasi.

Literasi tidak berhenti pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan menafsirkan dan memverifikasi. Masyarakat yang cerdas literasi akan lebih sulit dipengaruhi oleh propaganda atau ujaran kebencian.

Jurnalis sebagai Penjaga Akal Sehat

Jurnalis dan penulis sejatinya adalah penjaga akal sehat publik. Mereka mengamati, menganalisis, dan menulis dengan keberanian intelektual. Dalam pelatihan ini, peserta diajak memahami anatomi berita judul, lead, dan tubuh bukan sekadar untuk memenuhi format, tetapi agar mampu menyusun fakta secara bertanggung jawab.

Di tengah maraknya “clickbait” dan pemberitaan manipulatif, peran jurnalis yang berpegang pada prinsip 5W + 1H menjadi benteng terakhir melawan disinformasi. Etika jurnalistik bukan sekadar norma profesional, tetapi bentuk pengabdian terhadap nurani.

Menulis untuk Peradaban

Menulis bukan sekadar aktivitas menuangkan kata, melainkan tindakan membangun peradaban. Kata-kata mampu mengubah opini, membentuk karakter masyarakat, dan bahkan menentukan arah bangsa. Oleh karena itu, mencetak generasi penulis yang anti-hoaks berarti menanam benih integritas dalam lanskap informasi Indonesia.

Inisiatif AR Learning ini perlu diapresiasi dan diperluas. Dunia digital tidak akan pernah berhenti memproduksi informasi, tapi manusialah yang menentukan arah penggunaannya apakah untuk mencerdaskan atau menyesatkan.

Penutup

Jurnalisme adalah profesi sekaligus bentuk pengabdian. Seorang penulis dan jurnalis harus berani menulis dengan nurani, bukan sekadar mencari sensasi. Dalam era di mana setiap orang bisa menjadi “pemberi berita”, integritas menjadi pembeda antara jurnalis sejati dan penyebar informasi semu.

Menjadi jurnalis anti-hoaks bukan hanya tentang memahami teori jurnalistik, melainkan tentang memegang kompas moral yang teguh: berpihak pada kebenaran, meski itu berarti melawan arus.

Komentar0

Type above and press Enter to search.