|  | 
| Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist). | 
Suara Time, Opini - Dalam beberapa tahun terakhir, diplomasi iklim jadi salah satu panggung politik paling panas di dunia. Setiap pertemuan PBB, dari COP26 di Glasgow sampai COP28 di Dubai, selalu dibungkus dengan narasi besar: penyelamatan bumi, net zero emission, dan tanggung jawab bersama. Tapi di balik pidato-pidato megah itu, ada satu kenyataan yang jarang disorot — bahwa isu iklim kini bukan lagi semata-mata urusan moral dan kepedulian, tapi juga medan perebutan kepentingan nasional dan kekuasaan global.
Negara-negara
maju yang dulu jadi biang emisi karbon kini tampil seolah sebagai “penyelamat
planet”. Mereka menetapkan target ambisius, mengeluarkan miliaran dolar untuk
energi hijau, dan menekan negara berkembang agar ikut berkomitmen. Tapi kalau
ditelusuri lebih dalam, sebagian besar langkah itu bukan murni karena peduli
lingkungan, melainkan strategi geopolitik dan ekonomi. Lihat aja bagaimana
Amerika Serikat meluncurkan Inflation Reduction Act dengan fokus besar
pada industri energi bersih domestik. Di atas kertas, ini langkah progresif.
Tapi secara praktik, kebijakan itu melindungi industri hijau AS dari persaingan
luar negeri — alias proteksionisme berkedok keberlanjutan. Uni Eropa juga nggak
jauh beda dengan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)-nya
yang bakal mengenakan pajak karbon terhadap produk impor dari negara-negara
berkembang. Sekilas demi lingkungan, tapi sebenarnya demi melindungi daya saing
industri mereka sendiri.
Negara Berkembang: Antara Tekanan dan Tanggung Jawab
Di sisi
lain, negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Brasil sering kali
terjebak dalam dilema. Di satu sisi, mereka juga terdampak paling parah oleh
krisis iklim — banjir, kekeringan, gagal panen, naiknya permukaan laut. Tapi di
sisi lain, mereka masih sangat bergantung pada energi fosil untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara
ini dituntut untuk menurunkan emisi, tapi tanpa kompensasi dan transfer
teknologi yang jelas, tuntutan itu terasa nggak adil. Data dari Climate
Policy Initiative tahun 2023 menunjukkan bahwa 80% pendanaan iklim global
masih berputar di negara-negara maju, sementara negara berkembang cuma kebagian
sebagian kecil dari total pendanaan yang dijanjikan. Padahal, mereka adalah
pihak yang paling membutuhkan bantuan untuk melakukan transisi energi.
Indonesia
misalnya, sudah menunjukkan langkah progresif dengan Just Energy Transition
Partnership (JETP), kesepakatan senilai 20 miliar dolar AS untuk mendukung
transisi dari batu bara ke energi terbarukan. Tapi realitanya, sebagian besar
dana itu berbentuk pinjaman, bukan hibah. Artinya, tanggung jawab iklim masih
dibebankan ke negara berkembang dalam bentuk utang baru. Di sini jelas
terlihat, kepedulian global belum sepenuhnya lepas dari kalkulasi ekonomi dan
kepentingan nasional negara donor.
Masa Depan Diplomasi Iklim: Antara Ideal dan Realitas
Diplomasi
iklim sejatinya punya potensi besar buat memperkuat solidaritas global. Tapi
selama kepentingan nasional masih jadi fondasi utama, maka upaya kolektif itu
akan terus pincang. Negara maju akan terus memimpin wacana, sementara negara
berkembang diposisikan sebagai “pengikut” yang harus patuh pada standar hijau
versi Barat.
Di tengah
situasi ini, negara-negara Selatan perlu mulai membangun narasi baru: bahwa
keadilan iklim bukan cuma tentang mengurangi emisi, tapi juga tentang
redistribusi tanggung jawab dan sumber daya. Gagasan climate justice
harus jadi inti diplomasi global — bukan sekadar jargon.
Indonesia,
dengan posisi strategisnya di G20 dan ASEAN, bisa memainkan peran penting dalam
mendorong diplomasi iklim yang lebih setara. Bukan hanya menjadi penerima
kebijakan, tapi pembentuk arah kebijakan. Dengan potensi energi terbarukan yang
besar — mulai dari panas bumi, surya, hingga bioenergi — Indonesia bisa
menunjukkan bahwa transisi energi bisa dilakukan tanpa harus tunduk pada
tekanan ekonomi global.
Pada akhirnya, diplomasi iklim nggak boleh hanya jadi panggung untuk menunjukkan “siapa yang paling hijau.” Dunia butuh kolaborasi yang tulus, bukan kompetisi yang dibungkus dengan narasi moral. Karena selama perubahan iklim masih dijadikan alat tawar-menawar geopolitik, bumi akan terus membayar harga dari ambisi politik manusia.
*) Penulis adalah Ghanniyah Cesanov Salsabilah, Mahasiswa Universitas Sriwijaya.
 
Komentar0