|  | 
| Ach. Nurul Luthfi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia. | 
Suara Time, Opini - Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-80 tahun, di mana seharusnya dijadikan momen refleksi mendalam bagi negara untuk sebuah kemakmuran rakyatnya, bukan hanya sekadar perayaan seremonial. Di tengah kemeriahan upacara dan retorika patriotisme, muncul pertanyaan krusial, apakah Indonesia hari ini benar-benar sudah merdeka? Apakah kemerdekaan sudah dinikmati secara keseluruah masyarakat Indonesia? Bisa jadi, frasa "re-kemerdekaan" menjadi relevan untuk menggambarkan kondisi paradoks ini—sebuah kemerdekaan yang dirayakan tiap tahun, namun esensinya semakin menjauh dari kehidupan dan kesejehtaraan warga negaranya.
Situasi
yang menggambarkan ironi negara secara formal bebas dari penjajahan asing
(kolonialisme dan imperialisme), tetapi terjebak dalam bentuk penjajahan baru
yang lebih halus dan bersifat internal, tapi mematikan. Frantz Fanon, dalam The
Pitfalls of National Consciousness (1961), secara tegas mengkritik elit
nasional pascakolonial yang mengambil alih posisi penjajah, namun tetap
mempertahankan struktur kekuasaan kolonial dalam bentuk yang baru. Ia menyebut
kelompok ini sebagai "national bourgeoisie", yaitu elit lokal yang memanfaatkan
kemerdekaan politik hanya untuk memperkuat kekuasaan dan kepentingan ekonomi
mereka sendiri, alih-alih sebagai alat untuk emansipasi atau memerdekakan
rakyat. Mereka rezim melanggengkan pola penindasan yang sama meskipun terjadi
perubahan pemerintahan dan simbol negara.
Dilihat
konteks Indonesia, digambarkan melalui fenomena konsolidasi kekuasaan oleh
sekelompok kecil elit yang mengambil alih kendali negara (kekuasaan) dan
menguasai sumber daya, tanpa melakukan transformasi struktural yang signifikan.
Memang demokrasi formal tetap berjalan, tetapi hak-hak dan kesejahteraan rakyat
justru terpinggirkan. Fanon mengingatkan bahaya elit yang mentalitasnya tetap
mental penjajah, yang lebih mementingkan jabatan dan kekayaan daripada nasib
rakyat miskin. Revolusi sejati menurut Fanon harus dipimpin oleh rakyat miskin,
bukan oleh elit yang hanya mengganti wajah penjajah lama dengan wajah baru.
Dalam
sila kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia," yang seharusnya menjadi jaminan konstitusional, akan tetapi
kini hanya menjadi kalimat yang sering diucapkan dalam
upacara. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan
pada tahun 2019 terdapat 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen
aset nasional, sebuah ketimpangan ekonomi yang nyata dan serius. Akses terhadap
pendidikan, kesehatan dan keadilan sosial yang berkualitas masih menjadi barang
mewah bagi sebagian besar masyarakat. Negara berkembang seperti Indonesia masih
terperangkap dalam ketergantungan struktural, di mana elit lokal berkolaborasi
dengan kekuatan global untuk memperkaya diri sendiri, mengabaikan rakyat.
Fenomina itu disebut neokolonialisme internal, di mana bangsa sendiri yang
menjadi penjajah.
Jika
postkolonialisme menjelaskan siapa aktornya, maka neoliberalisme menjelaskan
bagaimana sistem penindasan ini beroperasi. Pendekatannya bisa menggunakan
David Harvey dalam The New Imperialism (2003) bahwa neoliberalisme adalah
instrumen untuk akumulasi kekayaan melalui perampasan (accumulation by dispossession).
Di Indonesia, praktik ini terlihat jelas dalam berbagai kebijakan. Korupsi yang
akut dan merajalela, lembaga independen dilemahkan (red.KPK, MK), proyek
infrastruktur yang dijadikan alat pencucian uang, dan anggaran aparat negara
(Polri dan TNI) semakin tinggi namun justru untuk merepresi warganya sendiri
karena dijadikan alat penjaga proyek pemerintah—kriminalisasi gerakan
masyarakat sipil, mahasiswa, hingga aktivis HAM menjadi bukti betapa kekuatan
militer dan keamanan lebih difokuskan pada perlindungan rezim daripada rakyat
yang dilindungi negara—masyarakat adat masih menjadi korban perampasan ruang
hidup atas nama pembangunan nasional—rekayasa regulasi melalui UU Cipta Kerja
untuk mempermudah perizinan tapi minim partisipasi—menjadi bukti nyata bahwa
negara telah menjadi entitas yang menindas rakyatnya sendiri.
Jika
ekonomi terjajah oleh neoliberalisme, maka sektor politik terjebak dalam
otoritarianisme elektoral. Indonesia memang menyelenggarakan pemilu secara
rutin, namun proses ini seringkali tidak mencerminkan partisipasi rakyat yang
substantif. Steven Levitsky dan Lucan Way dalam Competitive Authoritarianism
(2010) menjelaskan jika banyak negara yang mengadakan pemilu, tetapi tetap
otoriter melalui kontrol media, kriminalisasi oposisi, dan penggunaan aparat
negara untuk membungkam kritik.
Di
Indonesia, supremasi konstitusi yang seharusnya menjadi landasan keadilan dan
kesejahteraan seringkali dibajak untuk kepentingan segelintir kelompok. Pasal
33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa sumber daya alam harus dikuasai negara dan
sebesar-besarnya untuk kepentingan kemakmuran rakyat, selalu diabaikan.
Kebijakan pertambangan, konservasi hutan, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau
kecil dan penataan tata ruang perkotaan, justru menguntungkan korporasi, sementara
rakyat yang tinggal di wilayah tersebut kehilangan penghidupan mereka; tempat
tinggal, tanah dan mata pencaharian.
Frasa
"re-kemerdekaan" mungkin terasa pesimistis, seolah-olah Indonesia
tidak pernah benar-benar merdeka. Namun, istilah ini justru relevan karena
menggambarkan sebuah siklus di mana kemerdekaan hanya menjadi ritual tanpa
makna, diulang setiap tahun tanpa ada perubahan substantif. Lantas, bagaimana
kita keluar dari siklus ini? Solusinya tidak sesederhana mengganti rezim.
Transisi
politik saja tidak cukup jika tidak disertai dengan transformasi struktural
dari gerakan bawah. Rakyat harus berani membongkar oligarki ekonomi-politik
yang telah mengakar. Artinya, menuntut penegakan hukum yang adil, melawan
korupsi, dan memastikan bahwa kekayaan alam benar-benar digunakan untuk
kesejahteraan rakyat, pemimpin dalam bernegara secara profesioanl, berpihak
kepada rakyat dan patuh serta sesuai amanat konstitusi. Hal itu juga terasa
klise, namun memang harus membangun politik kewargaan untuk menyeimbangi
demokrasi.
Kemerdekaan
sejati tidak bisa diberikan oleh negara, melainkan harus direbut kembali oleh
rakyat. Gerakan petani, buruh, mahasiswa, rakyat miskin kota dan masyarakat
sipil lainnya harus terus mengawal demokrasi substansif. Tanpa tekanan dari
bawah, elit akan terus melanggengkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Seperti
halnya kata Fanon, bahwa untuk mendapatkan kemerdekaan politik, harus berbasis
pada kesadaran kelas dan bekerja secara kolektif.
"Re-kemerdekaan"
adalah panggilan untuk introspeksi, sebuah pengakuan bahwa kita terjebak dalam
penjajahan internal yang disamarkan. Merdeka di atas kertas, tetapi tetap
terjajah dalam praktik. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjadikan
80 tahun kemerdekaan sebagai momentum untuk memulai cita-cita perjuangan
baru—sebuah perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati, di mana keadilan
sosial, kemandirian ekonomi, dan demokrasi yang substantif benar-benar menjadi
milik seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir kelompok.
*) Penulis adalah Ach. Nurul Luthfi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
 
Komentar0