![]() |
Bintoro Wisnu Prasojo, Hakim PN Serui. (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Opini - Sistem hukum pidana Indonesia saat ini merupakan perpaduan antara hukum pidana warisan kolonial dan berbagai undang-undang pidana khusus (lex specialis) yang lahir setelah kemerdekaan. Keberadaan undang-undang pidana khusus ini, meskipun diperlukan untuk mengatasi perkembangan tindak pidana yang semakin kompleks dan spesifik, telah menimbulkan berbagai permasalahan, seperti disharmoni norma, tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum, dan ketidakpastian hukum (Anotasi KUHP Nasional, 2024, hlm. 615).
Sebagai upaya untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP Nasional). Salah satu tujuan utama dari pembentukan KUHP
Nasional adalah melakukan kodifikasi dan harmonisasi hukum pidana di Indonesia,
termasuk dengan mengintegrasikan beberapa ketentuan dari undang-undang pidana
khusus ke dalam KUHP Nasional (Anotasi KUHP Nasional, 2024, hlm. 615).
Namun, proses
integrasi ini tidak dilakukan secara menyeluruh. Mengingat kompleksitas dan
kekhususan dari tindak pidana khusus, integrasi dilakukan secara terbatas,
dengan hanya memasukkan core crimes atau inti dari tindak pidana
tersebut ke dalam KUHP Nasional. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan
bahwa "tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana
pencucian uang, dan tindak pidana narkotika sama sekali tidak menghilangkan
sifat dan karakteristik sebagai tindak pidana yang bersifat extra ordinary
crime" (Anotasi KUHP Nasional, 2024, hlm. 615). Konsep "de
minimis" menjadi landasan utama dalam proses integrasi ini, yang
berarti hanya elemen-elemen paling mendasar dan esensial dari tindak pidana
khusus yang diakomodasi, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi
manusia (HAM) dan efektivitas penegakan hukum.
Integrasi core crimes
dalam KUHP Nasional ini menimbulkan berbagai implikasi terhadap sistem hukum
pidana Indonesia. Di satu sisi, kodifikasi diharapkan dapat meningkatkan
kepastian hukum, mengurangi disharmoni norma, dan mempermudah penegakan hukum.
Di sisi lain, pembatasan integrasi dan keberadaan undang-undang pidana khusus
yang masih berlaku juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kodifikasi.
Anotasi KUHP Nasional (2024, hlm. 616) menjelaskan bahwa "dalam bab ini
sekali kali tidak menghilangkan sifat kekhususan dari tindak pidana tersebut,
apalagi menghilangkan kewenangan lembaga-lembaga khusus seperti KPK, Komnas
HAM, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT)".
Berdasarkan latar
belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam
tentang integrasi core crimes dalam KUHP Nasional dengan pendekatan de
minimis. Analisis akan mencakup identifikasi tindak pidana khusus yang
terintegrasi, batasan-batasan integrasi, implikasi terhadap sistem hukum pidana
Indonesia, serta rekomendasi untuk mengatasi tantangan dan memaksimalkan
manfaat dari kodifikasi hukum pidana.
INTEGRASI CORE CRIMES KE
DALAM KUHP NASIONAL MEMENGARUHI KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA
KHUSUS DI INDONESIA
Integrasi core crimes ke
dalam KUHP Nasional memiliki pengaruh yang kompleks dan beragam terhadap
karakteristik dan penanganan tindak pidana khusus (Tipidsus) di Indonesia,
antara lain:
Pertama, tidak menghilangkan
kekhususan dimana Integrasi core crimes tidak serta-merta menghilangkan sifat
dan karakteristik khusus dari tindak pidana tersebut, terutama untuk
extraordinary crimes seperti korupsi, terorisme, pencucian uang, dan narkotika
(Anotasi KUHP Nasional, hlm. 615). Sifat extraordinary ini tetap dipertahankan
karena karakteristiknya yang multidimensional, dampak yang luas, penggunaan
teknologi modern, keterkaitan dengan kejahatan transnasional, memerlukan hukum
acara khusus, lembaga pendukung khusus, dan dikutuk secara universal.
Kedua, Integrasi Terbatas (De Minimis):
Integrasi dilakukan secara terbatas, dengan hanya memasukkan elemen-elemen inti
(core crimes) ke dalam KUHP Nasional. Ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan
lain yang mengatur Tipidsus (misalnya, hukum acara, kewenangan lembaga khusus)
tetap mengacu pada undang-undang pidana khusus yang bersangkutan.
Ketiga, Tidak Menghapus
Kewenangan Lembaga Khusus: Integrasi core crimes tidak menghilangkan kewenangan
lembaga-lembaga khusus seperti KPK, Komnas HAM, BNN, dan BNPT (Anotasi KUHP
Nasional, hlm. 616). Lembaga-lembaga ini tetap berwenang untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tipidsus sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.
Keempat, Potensi Perubahan Hukum
Acara: Integrasi dapat memengaruhi hukum acara yang berlaku untuk Tipidsus.
Meskipun KUHP Nasional memiliki hukum acara sendiri, undang-undang pidana
khusus dapat mengatur hukum acara yang berbeda dan lebih spesifik. Hal ini
dapat menimbulkan kompleksitas dalam penanganan perkara Tipidsus.
Kelima, Harmonisasi Norma: Salah satu tujuan integrasi adalah untuk menciptakan harmonisasi norma antara KUHP Nasional dan undang-undang pidana khusus. Namun, karena integrasi dilakukan secara terbatas, potensi disharmoni norma tetap ada, terutama jika terdapat perbedaan penafsiran atau penerapan ketentuan hukum.
KESIMPULAN
Integrasi core crimes ke
dalam KUHP Nasional merupakan langkah strategis dalam proses kodifikasi dan
harmonisasi hukum pidana Indonesia. Pendekatan de minimis yang hanya
mengakomodasi elemen-elemen inti dari tindak pidana khusus menjadi dasar
penting dalam upaya ini. Integrasi ini tidak menghapus sifat extraordinary dari
tindak pidana tertentu seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan pencucian
uang, serta tidak meniadakan kewenangan lembaga penegak hukum khusus seperti
KPK, BNN, BNPT, dan Komnas HAM.
Langkah ini
memberikan manfaat berupa peningkatan kepastian hukum, pengurangan disharmoni
norma, dan kemudahan dalam kodifikasi hukum. Namun, pembatasan ruang lingkup
integrasi berimplikasi pada munculnya kompleksitas baru, terutama dalam hal
hukum acara pidana dan potensi disharmoni antara KUHP Nasional dengan
undang-undang pidana khusus yang masih berlaku.
Komentar0