![]() |
Penulis: Yogi Pamungkas, Mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Hukum, Universitas Al Azhar Indonesia. (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Opini - Indonesia kembali menghadapi kenyataan pahit dalam ranah Kekayaan Intelektual (KI). Publikasi Indeks KI Internasional 2024 oleh Kamar Dagang Amerika Serikat menunjukkan posisi yang mengkhawatirkan: Indonesia berada di peringkat ke-49 dari 55 negara, atau menempati posisi ke-7 dari bawah. Dengan skor hanya 30,40%, yang bahkan sedikit menurun 0,02% dari tahun sebelumnya, ini adalah sinyal jelas bahwa Indonesia masih harus berbenah besar dalam mendorong inovasi, kreativitas, dan terutama, komersialisasi aset KI.
Indeks KI Internasional mengevaluasi negara-negara berdasarkan beberapa pilar penting, termasuk pertumbuhan KI, komersialisasi aset KI, penegakan hukum, efisiensi sistem, dan kecepatan implementasi perjanjian internasional. Dalam penilaian ini, Indonesia secara mencolok menunjukkan kelemahan terbesar pada indikator komersialisasi aset KI, dengan nilai terendah yaitu 4,17%. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerminan dari hambatan sistematis yang menghalangi potensi ekonomi dari ide-ide dan kreasi anak bangsa.
Di sinilah Paten memainkan peran krusial. Sebagai salah satu bentuk KI yang paling vital, paten memberikan hak eksklusif kepada penemu atas invensi mereka. Hak ini tidak hanya melindungi inovator, tetapi juga menjadi pendorong utama bagi investasi dalam riset dan pengembangan, serta memfasilitasi transfer teknologi dan penciptaan lapangan kerja. Tanpa sistem paten yang kuat dan ekosistem yang mendukung, inovasi akan sulit berkembang dan dikomersialkan, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pendidikan Hafalan dan Doktrinal Membunuh Inovasi dan Komersialisasi Kekayaan Intelektual
Obsesi pendidikan kita dengan menghafal, mulai dari tanggal sejarah hingga kitab suci, adalah kemunduran peradaban kolektif. Di era global yang didominasi Artificial Intelligence dan otomatisasi, kemampuan menghafal adalah keahlian paling tidak berharga. Apa gunanya seorang "kalkulator hidup" yang bisa menghafal deretan angka atau rumus rumit, ketika sebuah kalkulator seharga Rp15.000 bisa melakukan pekerjaan yang sama dengan akurasi sempurna, hanya dengan biaya baterai Rp5.000 per bulan?
Perusahaan modern tidak butuh otak yang diisi data. Mereka butuh otak yang bisa berpikir, berinovasi, dan menyelesaikan masalah. Mengapa perusahaan harus menggaji seseorang sebesar UMK, ditambah iuran kesehatan, kecelakaan kerja, dan pensiun bulanan, jika pekerjaan yang mengandalkan hafalan bisa digantikan mesin jauh lebih murah dan efisien? Budaya hafalan ini bukan hanya tidak relevan, tapi juga fatal karena mengebiri kapasitas otak untuk menciptakan, yang menjadi inti dari Kekayaan Intelektual. Hasilnya, kita minim paten, minim ide baru, dan akhirnya, minim produk atau jasa yang bisa dikomersialkan.
Doktrin vs. Sains: Jeruji Besi Pemikiran yang Menghambat Kemajuan
Jika budaya menghafal adalah racun lambat, maka pendidikan doktrinal adalah jeruji besi yang membelenggu pikiran. Ketika kita diajarkan untuk mencocokkan fakta dengan "kebenaran" yang sudah ada, alih-alih mencari bukti dan membangun kebenaran dari nol, kita telah menutup pintu gerbang inovasi. Ilmu pengetahuan berkembang karena adanya keberanian untuk mempertanyakan, menguji, dan menantang ide-ide lama.
Sistem doktrinal ini menghasilkan individu yang penurut, bukan pemikir. Mereka dididik untuk mengikuti, bukan untuk memimpin atau menciptakan. Padahal, Kekayaan Intelektual lahir dari ide-ide yang mendobrak, dari penemuan yang belum ada, dan dari solusi yang belum terpikirkan. Bagaimana bisa kita berharap munculnya invensi-invensi revolusioner jika sejak bangku sekolah kita dicekoki dogma daripada diajak berpikir kritis dan bereksperimen?
Beranikah Negara Memilih Kecerdasan daripada Kebodohan yang Membuat Nyaman?
Ini adalah pertanyaan paling krusial: Maukah negara memaksa budaya menghafal dan pendidikan doktrinal ini dihapuskan dan diganti dengan pendekatan sains yang berbasis bukti? Tantangannya sangat besar. Mengubah paradigma pendidikan berarti menantang status quo dan mempertaruhkan kenyamanan berbagai pihak yang diuntungkan dari sistem lama.
Meskipun "menjadi bodoh" adalah hak individu, tetapi negara memiliki tugas konstitusional yang jelas yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas ini tidak bisa dinegosiasikan dengan kenyamanan atau doktrin yang justru akan membelenggu kemajuan. Jika kita terus membiarkan generasi kita terlena dengan hafalan dan doktrin, kita tidak akan pernah keluar dari posisi juru kunci dalam peta inovasi global. Kita akan terus menjadi konsumen, bukan produsen.
Inilah saatnya bagi negara untuk bersikap tegas: pilih kemajuan lewat pendidikan sains yang berbasis bukti dan merdeka dari belenggu hafalan/doktrin, atau terus mendekam dalam peringkat bawah Indeks KI, tergilas oleh negara-negara yang berani berinvestasi pada akal sehat dan inovasi. Pilihan ada di tangan kita, dan konsekuensinya akan ditanggung oleh generasi mendatang.
*) Penulis adalah Yogi Pamungkas, Mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Hukum, Universitas Al Azhar Indonesia.
Komentar0