GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Ketika Izin Rumah Ibadah Jadi Alat Intoleransi: Masalah Lama Yang Belum Tuntas

Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Kasus-kasus intoleransi yang muncul dalam proses pengurusan izin pendirian rumah ibadah di Indonesia kembali menjadi perhatian publik. Peristiwa penolakan, pembatasan, hingga penghentian pembangunan rumah ibadah milik kelompok minoritas memberikan isyarat bahwa persoalan toleransi belum sepenuhnya tertanam dalam kehidupan masyarakat.  Kelompok minoritas sering kali kesulitan dalam membangun tempat ibadah karena terhambat administrasi yang sulit, penolakan dari masyakat, dan tekanan dari pihak lain. Situasi ini menunjukkan harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia masih menghadapi kendala serius, meskipun prinsip kebebasan beragama telah dijamin oleh Pancasila dan konstitusi negara.

Intoleransi terkait pendirian rumah ibadah di Indonesia berakar dari gabungan tiga faktor utama: regulasi yang diskriminatif, sentimen sosial-budaya, dan ketidaktegasan pemerintah. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 menjadi sumber masalah regulasi karena menetapkan syarat dukungan minimal 60 warga setempat dan rekomendasi Forum Kerukuran Umat Beragama (FKUB), yang dalam implementasinya sering menjadi "belenggu mayoritas" untuk secara efektif menghalangi pendirian tempat ibadah minoritas melalui prosedur yang sulit.

Secara sosial-budaya, intoleransi dipicu oleh sikap kelompok mayoritas dan berbagai kesalahpahaman seperti tuduhan kristenisasi. Keyakinan bahwa identitas agama mayoritas harus tetap dominan juga memicu penolakan masyarakat, bahkan ketika seluruh persyaratan telah dipenuhi. Masalah struktural dan politik terjadi karena ketidaktegasan pemerintah daerah yang sering enggan atau takut menegakkan hukum, bahkan putusan pengadilan, ketika menghadapi tekanan kelompok tertentu. Hal ini diperburuk oleh politisasi agama dan hambatan administratif yang berbelit, sehingga memperkuat siklus intoleransi.

Masalah terkait izin pembangunan tempat ibadah sering memicu perselisihan berkepanjangan dan intoleransi di Indonesia. Namun, dalam kerangka negara berdasarkan Pancasila, penghormatan terhadap berbagai agama dan keyakinan merupakan pilar fundamental yang harus dijunjung tinggi. Sayangnya, dalam praktiknya, mekanisme pemberian izin untuk tempat ibadah sering disalahgunakan sebagai alat untuk membatasi hak kelompok minoritas dalam beribadah, sehingga menciptakan ketidaksetaraan sosial dan memicu perpecahan dalam masyarakat.

Pancasila, sebagai landasan negara, mencakup prinsip pertama, Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mengharuskan penghormatan terhadap keragaman keyakinan dan agama. Prinsip kedua, Manusiawinya Keadilan dan Peradaban, mendorong kita untuk bersikap adil terhadap orang lain tanpa diskriminasi. Jika proses memperoleh izin untuk rumah ibadah dibuat sulit atau bahkan digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti kelompok tertentu, hal ini tentu bertentangan dengan esensi Pancasila yang bertujuan untuk mempersatukan bangsa di tengah keberagaman.

Permasalahan ini menimbulkan dampak yang tidak hanya dirasakan oleh kelompok yang dirugikan, tetapi masyarakat luas juga terseret dalam dampak permasalahan ini. Berikut dampak yang ditimbulkan:

1. Diskriminasi Kelompok Minoritas

Komunitas agama minoritas, terutama di daerah dengan penduduknya sejenis (satu kelompok dominan), menghadapi kesulitan untuk memenuhi persyaratan administratif. Tidak jarang mereka harus beribadah di tempat seadanya atau bahkan di ruang terbuka karena izin yang tak kunjung turun.

2. Agama Dijadikan Sebagai Alat Politik

Izin untuk membangun tempat ibadah sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik di daerah. Penolakan atau penundaan izin kadang dilakukan untuk memperlihatkan kekuasaan kelompok yang lebih besar jumlahnya, atau untuk mendapatkan dukungan dalam pemilihan umum.

3. Ketegangan Sosial

Kasus-kasus seperti penyegelan gereja, penolakan pembangunan masjid di daerah tertentu, atau penutupan vihara telah memicu konflik horizontal yang merusak harmoni sosial yang telah terbangun bertahun-tahun.

4. Ketidakpastian Hukum

Implementasi peraturan yang tidak seragam antar daerah menciptakan ketidakpastian. Apa yang diizinkan di satu daerah bisa dilarang di daerah lain, menimbulkan rasa ketidakadilan.

Peran Negara dan Masyarakat dalam Mengatasi Intoleransi Perizinan Rumah Ibadah

1. Reformasi Regulasi dan Penegakan Hukum

Negara harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Persyaratan 90 dan 60 tanda tangan yang kerap disalahgunakan perlu diganti dengan mekanisme yang lebih objektif dan tidak diskriminatif. Perizinan seharusnya didasarkan pada aspek teknis seperti tata ruang dan keamanan bangunan, bukan pada mayoritas demografi atau persetujuan warga sekitar. Aparat penegak hukum harus bertindak konsisten terhadap setiap tindakan intoleransi, intimidasi, atau pembubaran paksa kegiatan ibadah. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan penonton ketika hak beragama warganya dilanggar.

2. Masyarakat Sipil sebagai Penjaga Toleransi

Organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lintas agama perlu aktif melakukan advokasi dan pendampingan bagi kelompok yang mengalami diskriminasi. Dokumentasi kasus-kasus intoleransi dan publikasi yang massif dapat menjadi tekanan moral bagi pengambil kebijakan.

3. Tokoh Agama sebagai Agen Perdamaian

Tokoh agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap umat. Mereka harus berani mengambil posisi tegas melawan intoleransi, bahkan ketika hal itu tidak populer di kalangan pengikutnya. Dialog antar-agama yang berkualitas dan berkelanjutan, bukan sekadar seremonial, perlu dilakukan kepada masyarakat.

4. Media dan Influencer sebagai Pembentuk Opini

Media massa dan media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk narasi publik. Liputan yang berimbang tentang kasus-kasus intoleransi, tanpa sensasionalisme yang memperkeruh suasana, dapat membantu masyarakat memahami kompleksitas masalah. Influencer dan public figure juga dapat menggunakan platformnya untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi.

Permasalahan intoleransi dalam proses perizinan pendirian rumah ibadah di Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi beragama belum sepenuhnya mengakar dalam kehidupan masyarakat. Meskipun Pancasila dan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama, implementasinya sering terhambat oleh regulasi yang berpotensi diskriminatif, seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, serta tekanan sosial dan politik dari kelompok mayoritas. Hambatan administratif, penolakan warga, dan ketidaktegasan pemerintah daerah memperparah kondisi sehingga hak beribadah kelompok minoritas sering terabaikan. Intoleransi dalam pendirian rumah ibadah tidak hanya melanggar prinsip dasar Pancasila khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetapi juga mengancam persatuan sosial. Dampak dari intoleransi tersebut meluas, menciptakan diskriminasi, ketegangan sosial, politisasi agama, serta ketidakpastian hukum yang melemahkan kepercayaan terhadap negara dan merusak harmoni antar umat beragama.



*) Penulis adalah Nur Safari S., Fina Zahrotus Syiva, Danu Widodo, Aisya Mursida Ardina, Arini Aprilia Astuti. Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.

Komentar0

Type above and press Enter to search.