![]() |
Penulis, Tania Octa Violla 220902060 |
Dalam praktik lapangan sebagai mahasiswa Kesejahteraan Sosial yang dilaksanakan di Yayasan Medan Plus, penulis mendampingi seorang klien yang merupakan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengalami kesulitan dalam menerima kondisinya. Proses pendampingan dilakukan dengan menggunakan pendekatan casework yang diperkenalkan oleh Skidmore, Thackeray, dan Farley (1994) dalam Adi (2013).
Pendekatan ini melibatkan kerja langsung pekerja sosial dengan individu melalui empat tahapan utama, yaitu: tahap penelitian (study phase), tahap pengkajian (assessment phase), tahap intervensi, dan tahap terminasi. Setiap tahap dijalankan dengan pendekatan empatik, perencanaan yang matang, serta mendorong partisipasi aktif dari klien.
Pada tahap awal, yaitu tahap penelitian dan pengkajian, ditemukan bahwa klien mengalami masalah serius dalam hal penerimaan diri. Klien cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, enggan mengungkapkan perasaan, dan kerap memendam rasa takut serta kemarahan terhadap dirinya sendiri. Ia juga menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap stigma dari lingkungan sekitar.
Memasuki tahap selanjutnya, yaitu tahap intervensi, penulis menerapkan terapi forgiveness atau terapi memaafkan diri sendiri sebagai pendekatan psikososial. Terapi ini dipilih untuk membantu klien meredakan tekanan emosional, membebaskan diri dari rasa bersalah, serta membangun kembali hubungan positif dengan dirinya sendiri.
Terkait dengan penyakit menular HIV/AIDS, salah bentuk terapi yang dapat dimanfaatkan adalah forgiveness therapy. Pemaafan sendiri merupakan bentuk terapi yang harus direkonstruksi ulang untuk menanggulangi munculnya emosi negatif yang diharapkan dapat meningkatkan self acceptance pada setiap individu yang terjangkit HIV, karena bagaimanapun juga menyalahkan orang lain serta menyalahkan diri sendiri atas penyakit yang sedang dialami malah memungkinkan dapat menurunkan life quality individu (Enright, 2001 dalam Satrio, 2021).
Terapi Pemaafan ini diharapkan mampu membawa individu pada berbagai terminology baru, berupa pertumbuhan, penerimaan diri, kreativitas, sehingga rasa sakit yang ditimbulkan baik itu fisik maupun psikis akibat penyakit yang sedang dialami dapat berkurang ataupun tidak merasakannya lagi (Snyder, C. R., & Lopez, 2007 dalam Satrio, 2021).
Terapi yang penulis terapkan dilakukan melalui pendekatan reflektif yang dikembangkan menjadi praktik harian selama 14 hari. Tujuannya bukan hanya mengurangi tekanan emosi, tapi juga memulihkan hubungan klien dengan dirinya sendiri.
![]() |
Sumber Foto: Dok. Ist. |
Sebuah proses terapi pengampunan yang dijalani oleh seorang klien dalam kurun waktu 14 hari menunjukkan hasil menggembirakan. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh penulis, klien mengungkapkan perubahan signifikan dalam dirinya.
“Saya merasa lebih percaya diri, lebih bisa menerima diri sendiri, dan menyadari bahwa saya masih berharga,” ungkapnya saat sesi evaluasi.
Selain itu, klien juga mulai menunjukkan keberanian untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya, memiliki dorongan internal untuk terus berkembang, serta perlahan-lahan mulai menjalin kembali hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa proses pemulihan emosionalnya berjalan ke arah yang positif dan menjanjikan.
Perubahan ini memperkuat bukti bahwa Forgiveness Therapy bukan sekadar metode penyembuhan psikologis, melainkan juga sarana untuk membangkitkan kembali harapan dan semangat hidup.
Pendampingan kepada ODHA tak cukup hanya dari aspek medis. Dukungan sosial, empati, dan pendekatan yang menyentuh sisi batin juga sangat penting. Semoga lebih banyak ruang aman diciptakan, agar para ODHA tidak hanya bertahan, tapi juga merasa pantas untuk hidup damai.
Referensi:
- Adi, I. R. (2018). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan). Jakarta : Rajawali Pers.
- Satrio, A. B., & Muhid, A. (2021). Efektifitas Therapy pemaafan untuk meningkatkan Self Acceptance pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). KONSELING: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Penerapannya, 2(4), 89-95. https://doi.org/10.31960/konseling.v2i4.1016
Komentar0