GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Fenomena #KaburAjaDulu: Pilihan Generasi Z Mencari Peluang di Luar Negeri

Penulis: Septiana Savira, Mahasiswa Universitas Pamulang, Program Studi Akuntansi S1. (Foto: Freepik).

Suara Time, Opini- Ungkapan “Kabur aja dulu” kini menjadi semakin marak diperbincangkan di media sosial maupun media konvensional. Istilah ini muncul sebagai bentuk ekspresi dari kekecewaan generasi muda terhadap situasi yang mereka hadapi saat ini, mulai dari meningkatnya kasus PHK, sulitnya memperoleh pekerjaan karena persaingan yang ketat, hingga persoalan korupsi yang seolah tak pernah berujung tanpa perubahan nyata. 

Mengapa Anak Muda Memilih “Kabur”?

Berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas (2023), 7 dari 10 mahasiswa di Indonesia memiliki rencana untuk bekerja di luar negeri setelah lulus kuliah. Di negara tetangga seperti Singapura, fresh graduate bisa memperoleh gaji awal sekitar SGD 3.500 (setara Rp 40 juta). Sementara di Jakarta, gaji lulusan baru rata-rata hanya Rp 5–8 juta, bahkan bisa lebih rendah di wilayah lain di Indonesia. Hal ini memicu keinginan untuk mencari peluang yang dianggap lebih menjanjikan di luar negeri. 

Pro-Kontra: Haruskah Kita Khawatir?

Fenomena #KaburAjaDulu bisa berdampak serius jika tidak ditanggapi secara menyeluruh. Risiko yang muncul tidak hanya terbatas pada brain drain, tapi juga pada hilangnya kepercayaan generasi muda terhadap sistem pemerintahan. Apalagi jika akar masalah yang menyebabkan ketidakpercayaan tersebut tidak segera diatasi, hal ini bisa memperburuk kondisi sosial dan ekonomi nasional.

Manfaat di Balik Tren “Kabur Aja Dulu”

1. Peningkatan Keterampilan dan Pengalaman Internasional

Meskipun berisiko, tren ini juga memiliki sisi positif. Dengan bekerja di luar negeri, anak-anak muda Indonesia bisa:

  • Berkarier di lingkungan kerja yang lebih profesional dan tertata,
  • Menikmati akses terhadap teknologi modern dan sistem kerja yang lebih efisien,
  • Meningkatkan kemampuan (baik soft skill maupun hard skill) yang mungkin belum bisa didapat secara optimal di dalam negeri. Pengalaman dan keahlian yang diperoleh ini bisa menjadi aset berharga ketika mereka memilih kembali ke tanah air. Sesuai dengan teori brain circulation (Stark & Bloom, 1985), migrasi tenaga kerja tidak hanya berarti kehilangan SDM, tapi juga membawa potensi transfer pengetahuan dan keterampilan ke Indonesia di masa depan.

Fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan kegagalan ide neo-nasionalisme yang selama ini didorong pemerintah dalam menjawab aspirasi generasi muda. Permasalahan kepercayaan yang muncul bukan hanya disebabkan oleh opini, melainkan bersumber dari kesenjangan struktural yang belum diselesaikan. Indonesia perlu membangun kembali kepercayaan generasi muda, dengan tetap menanamkan semangat nasionalisme sekaligus melakukan reformasi mendalam yang mampu menjawab realita serta harapan masa depan mereka. 


*) Penulis adalah Septiana Savira, Mahasiswa Universitas Pamulang, Program Studi Akuntansi S1.

Komentar0

Type above and press Enter to search.