GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Luka Produktivitas di Balik Budaya Hustle

Aenun melasari, Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Peradaban. (Foto: Dok/Ist).
Suara Time, Opini - Di tengah era digital dan persaingan global yang kian ketat, menjadi sibuk telah berubah menjadi simbol keberhasilan. "Sibuk" bukan lagi sekadar aktivitas, tetapi identitas. Tren ini dikenal sebagai hustle culture sebuah budaya yang memuliakan kerja keras tanpa henti demi ambisi, pencapaian, dan validasi sosial. Namun, di balik glorifikasi produktivitas ini, ada luka yang sering tak terlihat: burnout, kelelahan fisik dan mental yang kini menghantui generasi muda, terutama mahasiswa dan pekerja awal karier.

Hari-hari ini, mahasiswa bukan hanya kuliah, tetapi juga freelance, magang, ikut organisasi, bahkan menjadi konten kreator. Semua dilakukan demi memperkaya CV dan memperluas koneksi. Di sisi lain, pekerja muda merasa harus terus membuktikan diri dengan lembur, target ambisius, dan tekanan agar tak “tertinggal”. Akibatnya, banyak yang hidup dalam siklus kerja-tidur-ulang tanpa jeda. Keseimbangan hidup menjadi kemewahan.

Survei dari Populix tahun 2024 menunjukkan bahwa 74% mahasiswa dan pekerja muda di Indonesia mengalami tanda-tanda burnout seperti kelelahan kronis, kehilangan motivasi, dan gangguan tidur. Sementara itu, laporan WHO mencatat bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat stres kerja tertinggi di Asia Tenggara. Budaya hustle, yang semula dimaknai sebagai semangat produktif, kini telah bergeser menjadi tekanan sosial untuk terus tampil “berhasil”.

Di sinilah pentingnya literasi emosi dan keseimbangan. Produktivitas memang penting, tetapi bukan segalanya. Sayangnya, di tengah banjir konten motivasi, kisah sukses instan, dan tekanan sosial media, kemampuan untuk memahami batas diri justru terpinggirkan. Kita diajarkan untuk terus berlari, tetapi lupa diajarkan kapan harus berhenti. Akibatnya, banyak yang merasa gagal hanya karena tidak secepat orang lain, padahal tiap orang punya ritme dan kapasitas berbeda.

Dalam ilmu komunikasi, kesadaran diri dan komunikasi intrapersonal adalah bagian penting dari literasi yang sehat. Memahami diri sendiri, batas energi, dan kebutuhan istirahat merupakan bentuk literasi kehidupan yang harus dipelajari sejak dini. Tanpa itu, ruang publik akan dipenuhi oleh individu yang kelelahan, emosional, dan kehilangan arah. Produktivitas tanpa makna hanya akan menghasilkan generasi lelah yang terus mencari validasi eksternal.

Peran media sosial juga tidak bisa diabaikan. Banyak tokoh publik dan influencer yang secara tidak sadar menormalisasi kerja tanpa henti sebagai “passion” atau “cinta kerja”, tanpa menampilkan sisi rentan dari prosesnya. Padahal, mencintai pekerjaan bukan berarti mengabaikan kesehatan mental. Edukasi publik perlu diimbangi dengan narasi yang lebih jujur: bahwa istirahat bukan kelemahan, dan gagal bukan aib.

Kesimpulannya, budaya hustle yang tidak sehat justru menciptakan generasi yang kehabisan energi sebelum sampai tujuan. Literasi modern bukan hanya soal informasi, tapi juga soal mengelola emosi, stres, dan ekspektasi. Kita perlu menciptakan ruang publik yang lebih jujur, lebih berempati, dan lebih menghargai proses, bukan hanya hasil. Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya semangat untuk terus maju, tetapi juga kebijaksanaan untuk tahu kapan harus berhenti.

*) Penulis adalah Aenun melasari, Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Peradaban.

Komentar0

Type above and press Enter to search.