GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Ketika Tujuan Mengalahkan Hukuman: Cerita Sederhana dari Kelas Belakang

Ismail Hasan, Guru Matematika dan Wali Kelas di SMP Nazhatut Thullab Sampang. (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Di sebuah kelas yang disebut-sebut sebagai "kelas buangan", saya bertemu dengan seorang siswa yang awalnya tak memberi harapan. Ia masuk sebagai siswa baru dengan penampilan tak meyakinkan, minim motivasi, dan sering mendapat hukuman. Bahkan saya sendiri, yang mengajarnya waktu itu, mengaku sempat ragu, “Anak ini bisa berkembang nggak, ya?”

Tapi sistem reposisi sekolah membuat kami berada dalam satu kelas. Ia kini menjadi bagian dari kelompok siswa yang tertinggal, dan saya wali kelasnya. Interaksi kami pun berubah. Awalnya ia tetap acuh, hingga suatu hari ia meminta bantuan saya dalam mengerjakan tugas. Setelah saya bantu, ia mendekat dan dengan tulus berkata, “Terima kasih, Pak.”

Ucapan sederhana, tapi dengan tatapan mata yang berbeda: penuh ketulusan.

Sejak itu, saya mulai memperhatikan perubahannya. Ia mulai hadir tepat waktu, mengerjakan tugas, dan bahkan memberi pengaruh baik pada teman-temannya. Ketika saya sampaikan kepada orang tuanya bahwa anaknya mengalami peningkatan, sang ibu menjawab dengan penuh rasa syukur, “Anak saya sekarang sudah punya cita-cita, Pak. Mau masuk IPA karena ingin kerja di dunia kesehatan.”

Saya tersentak. Ternyata yang menggerakkan perubahan itu bukan sanksi, bukan rotasi kelas, apalagi omelan. Tapi satu hal sederhana: tujuan.

Ketika anak menemukan tujuan, ia bisa melampaui lingkungan yang buruk, mengalahkan keraguan orang-orang sekitarnya, bahkan melampaui dirinya yang lama. Dalam refleksi saya sebagai pendidik, ini menjadi bukti nyata bahwa hukuman tak akan banyak berarti tanpa ruang bagi anak untuk tumbuh, didengar, dan diarahkan.

Saya belajar satu hal penting: sering kali yang dibutuhkan oleh anak bukan tangan yang menghukum, tapi tangan yang membimbing dan telinga yang mendengarkan. Bukan label negatif, tapi ruang untuk berubah.

Cerita ini bukan tentang satu anak saja. Ini tentang potensi yang terpendam di banyak siswa, yang kadang hanya butuh guru yang percaya, lingkungan yang suportif, dan kesempatan untuk menyusun study plan-nya sendiri.


*) Penulis adalah Ismail Hasan, Guru Matematika dan Wali Kelas di SMP Nazhatut Thullab Sampang.

Komentar0

Type above and press Enter to search.