![]() |
Apriliani Intan Pertiwi – Magister Manajemen UII. (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Opini - Kopi, minuman yang sangat ramah mulut para penggemarnya. Terlebih bagi orang yang sedang mengejar deadline pekerjaan, pasti butuh asupan kafein yang terkandung dalam kopi. Harga kopi bisa dikatakan relative mahal jika menikmatinya dengan seduhan asli biji kopi yang belum menjadi bubuk kemasan siap seduh atau dengan kata lain berkunjung ke kedai kopi. Bagi kalangan menengah ke bawah mereka menikmati seduhan kafein cukup dengan kemasan yang dibeli di pasar, toko kelontong atau siap minum di UMKM yang menyediakannya.
Perlu diketahui sekarang ini gelombang kenaikan harga kopi kemasan sedang melanda pasar global dan domestic sejak beberapa bulan terakhir. Kenaikan ini bukan sekadar angka statistic, tapi tekanan langsung pada keberlanjutan usaha pelaku UMKM kopi local. Fakta kenaikan harga kopi ini di tunjukkan oleh data global. Harga acuan kopi robusta di bursa ICE futures Europe (London) sudah mencapai level USD 3.000 per metrik ton di akhir Juni 2025. Kondisi ini meningkat secara signifikan dibanding rata-rata USD 2.000 – USD 2.500 per ton di periode yang sama tahun 2024. Penyebab kenaikan harga karena gangguan pasokan global. Dimana produksi dari Vietnam sebagai penghasil robusta terbesar dan Brasil mengalami tekanan dari cuaca ekstrem (El Niño/La Niña) yang menggangu siklus tanam dan panen. Ini juga disebabkan oleh permintaan yang tetap kuat. Konsumsi kopi global terutama jenis robusta banyak dipakai untuk produk kopi kemasan dan blend ekonomis tapi tetap bertahan meski terjadi inflasi sekalipun. Biaya logistic dan input untuk proses penggilingan dan distribusi pun menjadi penyumbang factor terjadinya kenaikan harga bahan baku.
Karena biaya produksi melonjak dan bahan baku kopi itu sendiri persentasenya 50-70%, berakibat ke harga kopi kemasan yang beredar dan digunakan oleh UMKM. Biasanya UMKM melakukan pembelian kopi kemasan bukan pada jumlah banyak hingga ratusan renceng. Pelaku UMKM membeli kopi kemasan 3-10 renceng Dimana pembelian ini dilakukan di pasar tradisional ataupun. Mereka mengganggap harga di pasar tradisional lebih ramah kantong meski pembeliannya hanya sedikit.
Biasanya harga per renceng kopi hitam tanpa ampas Rp 7.000, isinya10 sachet yang berisikan 2gr. Kopi susu, capucinno dan varian rasa lainnya dengan kisaran harga Rp 13.000 – Rp 17.000 per renceng isi 10 sachet. Harga tersebut terpantau di awal tahun 2025. Ternyata di akhir bulan Juni hingga saat ini terjadi lonjakan yang lebih dari 50% harga sebelumnya menjadi Rp 11.000 – Rp 16.000 untuk kopi tanpa ampas dan kopi dengan varian rasa dengan kisaran Rp 16.000 – Rp 28.000. UMKM menyeduh kopi hitam tanpa ampas biasanya di patok harga Rp 3.000 dan kopi dengan varian rasa dengan harga terendah Rp 5.000 – Rp 7.000.
Pelaku UMKM merasa dilemma menentukan harga jualnya. Jika mempertahankan harga jual sebelumnya, margin keuntungannya akan menurun drastis yang menjadikan balik modal dan perputaran uang lebih lama, bahkan ada potensi rugi. Jika menyesuaikan harga, akan muncul risiko kehilangan pelanggan yang sensitive terhadap harga. Pelaku UMKM masih belum bisa merubah harga, masih melihat dan mempertimbangkan pergerakan pasar. Ditambah lagi saat ini brand dari kopi sachet itu sudah mulai merambah pasar secara langsung dan bertemu dengan konsumen dengan cara mendirikan booth dan disajikan layaknya minuman di café. Bahkan harga yang dipatok oleh brand terkait mulai dari Rp 5.000 saja. Rasanya pelaku UMKM jika harus menyaingi brand secara langsung tentunya akan tumbang. Terlebih penyajian dari UMKM saat ini sebatas menggunakan plastic bening dengan sedotan atau paling mahal adalah dengan menggunakan cup plastic. Mereka juga memiliki keterbatasan melakukan iklan. Biasanya pelaku UMKM mengiklankan produk mereka dengan membuat story di social media. Sedangkan bagi brand yang mendirikan booth, mereka sudah menggandeng artis papan atas yang digandrungi banyak gadis. Brand ternama bisa dengan mudah menghilangkan potensi UMKM. Ini bisa dilihat dari potensi kopi on-the-go yang terus bergerak positif. Saat ini respon masayarakat terkait tren kopi on-the-go sangat positif. Masyarakat berbondong-bondong antre membeli produk kopi sachet yang dikemas menggunakan cup plastic bertuliskan nama brand terkait. Tidak berhenti di situ saja, mereka juga dengan ringan membuka ponsel dan memberikan ulasan baik yang mendatangkan pelanggan lain dan meningkatkan tren.
Bagi pelaku UMKM, bisa mulai mempertimbangkan untuk mencari alternatif lain sebagai suppliernya. Salah satunya bekerjasama langsung dengan brand, melakukan pengajuan ke brand sebagai supplier tetap dan juga jika merasa keberatan dengan minimal pembelian, UMKM bisa melakukan konsolidasi antar UMKM di sektor yang sama untuk mencapai minimal pembelian demi mendapat harga yang lebih menguntungkan.
Mereka juga perlu mengontrol biaya operasional non-bahan baku seperti tenaga kerja ataupun kemasan. Membuat inovasi menu yang tidak kalah dengan yang dilakukan brand terkait, seperti mencampurkan dengan susu kental manis, perisa buah atau lainnya. Untuk proses marketing juga bisa melalui skala kecil misalnya terbuka kritik saran dengan mengajak pelanggan untuk menyampaikan hal positif atau keunggulan inovasi UMKM ke orang lain. Memperkuat storytelling ke pengunjung/customer baru untuk memunculkan kenyamanan yang berujung loyalitas pelanggan. Bisa juga dengan membuat iklan melalui WhatsApp dengan tagline ‘menu baru, rasa baru, pengalaman baru’ disertai dengan foto produknya. Dengan begitu kemungkinan pendapatan akan meningkat bagi UMKM. Tentunya dari cara-cara tersebut akan berpengaruh positif bagi UMKM yang saat ini merasa dilemma.
*) Penulis adalah Apriliani Intan Pertiwi – Magister Manajemen UII.
Komentar0