GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Catatan Wali Kelas: Menjadi Guru di Luar Jam Pelajaran

Ismail Hasan, Guru Matematika dan Wali Kelas di SMP Nazhatut Thullab Sampang. (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Setiap hari setelah mengajar dan menyelesaikan administrasi saya pulang. Namun pikiran saya sering kali belum benar benar berhenti bekerja. Ada saja yang terpikirkan. Tentang siswa yang sedang murung, konflik kecil di kelas, atau sekadar pekerjaan rumah yang belum dikumpulkan. Bagi saya menjadi wali kelas bukan hanya tugas struktural, tetapi juga peran emosional.

Saya pernah mengira bahwa keberhasilan mengajar cukup diukur dari nilai rapor dan prestasi akademik. Namun waktu mengubah pandangan itu. Saya belajar bahwa keberhasilan juga berarti hadir dalam proses. Menyapa, memahami, memediasi, mendengar, bahkan kadang sekadar duduk bersama mereka yang sedang lelah belajar.

Di tahun tahun pertama saya masih emosional. Saya pernah menggunakan kata kata yang kasar, memberi hukuman yang keras, dan terlalu percaya bahwa ketegasan berarti tidak boleh lunak. Saya mengira, seperti ayah di rumah, guru selalu benar. Ternyata saya keliru. Anak anak memang butuh ditegur. Tetapi lebih dari itu, mereka butuh diyakini bahwa ada orang dewasa yang mengerti mereka.

Tugas guru tidak selesai di jam pelajaran. Andai sehari memiliki dua puluh lima jam, maka tugas guru tetap akan berjalan dua puluh lima jam. Ada saja yang harus dipikirkan. Tentang bagaimana menanamkan karakter, membentuk tanggung jawab, membangun harapan, dan menanamkan keyakinan bahwa belajar memang tidak selalu mudah tetapi tetap harus dijalani.

Mengajar bukan hanya tentang membuat siswa paham rumus atau teori. Tetapi tentang membantu mereka bertumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berani mengambil keputusan, dan berani menghadapi dunia yang tidak selalu ramah.

Dari proses ini saya belajar bahwa menjadi guru sejatinya juga belajar menjadi orang tua. Peran wali kelas tidak hanya menata jadwal piket atau mengumpulkan iuran. Tetapi menjadi tempat pertama siswa kembali ketika sekolah terasa menyesakkan.

Saya mulai memaknai guru bukan sekadar pengajar, tetapi jembatan. Jembatan yang menghubungkan siswa dari ketidaktahuan menuju pemahaman, dari keraguan menuju keyakinan, dari kegagalan menuju harapan baru.

Catatan ini bukan untuk menggurui. Ini hanyalah pengingat. Bahwa di balik label guru ada manusia yang juga sedang belajar. Belajar mendengarkan. Belajar memahami. Dan belajar tumbuh bersama murid muridnya.


*) Penulis adalah Ismail Hasan, Guru Matematika dan Wali Kelas di SMP Nazhatut Thullab Sampang.

Komentar0

Type above and press Enter to search.