GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Udara Kotor, Masa Depan Bocor: Saatnya Bertindak Hadapi Polusi yang Membunuh Diam-diam

Muhammad Rizky Perwira Zain, S2 Magister Kesehatan Masyarakat FK-KMK Universitas Gadjah Mada. (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Setiap tanggal 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup. Namun mari jujur: apa yang sungguh berubah? Kita mungkin berpartisipasi dalam kampanye menanam pohon atau membersihkan sungai selama sehari, tetapi keesokan harinya kembali ke rutinitas yang dipenuhi asap dan debu. Kenyataannya, lingkungan kita semakin memburuk. Ketika lingkungan sakit, manusia pun menderita. Salah satu penyebab utamanya adalah polusi udara, pembunuh senyap yang kita hirup setiap hari tanpa kita sadari.

Udara Kotor, Nyawa Melayang

Setiap hari, polusi udara membunuh sekitar 2.000 anak di dunia, tanpa suara, tanpa headline besar. Bayangkan jika tiap hari ada kecelakaan pesawat yang menewaskan ribuan anak. Dunia pasti panik. Tapi karena polusi membunuh perlahan, kita diam saja. Padahal, ini bukan angka sepele: total 8,1 juta orang meninggal akibat polusi udara pada 2021. Ironisnya, Indonesia sempat menyandang gelar sebagai negara paling berpolusi di Asia Tenggara (World Air Quality Report 2024). Ini bukan sekadar statistik tapi ini bukti bahwa masa depan bangsa sedang diselimuti asap, dan kita belum cukup peduli.

Anak-Anak: Masa Depan yang Dirusak Sejak Dini

Anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap polusi udara. Saat mereka menghirup udara kotor, racun tak hanya berhenti di paru-paru, ia menyusup ke aliran darah, merusak jantung, otak, hingga organ vital lainnya. Pada ibu hamil, polutan bahkan bisa menembus plasenta dan membahayakan janin. Salah satu dampak paling sering terlihat adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Menurut Riskesdas 2013, 1 dari 4 balita di Indonesia pernah terkena ISPA. Bayangkan, dalam satu rumah saja, bisa ada lebih dari satu anak yang kesehatannya terancam hanya karena udara yang mereka hirup setiap hari.

Kebijakan Tanpa Taring

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki payung hukum melalui PP No. 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun peraturan tanpa penegakan adalah sekadar kertas kosong. Masalah utamanya: pengawasan lemah, sanksi tidak menimbulkan efek jera, dan pejabat yang menganggap polusi udara sebagai "masalah kecil". Akibatnya, pabrik-pabrik terus memuntahkan asap, kendaraan bermotor semakin merajalela, dan pembakaran sampah menjadi pemandangan sehari-hari.

Solusi Konkret: Jangan Tunggu Napas Terakhir

Mengatasi polusi udara bukan tugas satu pihak saja. Dibutuhkan keberanian politik, partisipasi warga, dan kolaborasi lintas sektor. Berikut langkah-langkah nyata yang harus segera dijalankan:

1. Penegakan Hukum yang Berani

Aturan sudah ada, tapi pelaksanaannya masih lemah. Pemerintah perlu membangun sistem pengawasan emisi secara real-time dan menjatuhkan sanksi tegas bagi pelanggar. Pabrik yang melampaui ambang batas emisi harus ditutup, bukan hanya diberi denda kecil yang tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

2. Insentif Ekonomi yang Cerdas

Polusi bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga ekonomi. Terapkan pajak karbon progresif dan sistem perdagangan emisi yang adil. Perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan harus diberi insentif seperti keringanan pajak, sementara pencemar berat harus membayar mahal atas dampaknya.

3. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Garda Terdepan

Libatkan masyarakat dengan cara yang konkret. Latih mereka menggunakan aplikasi pemantau kualitas udara, sediakan kanal pelaporan cepat, dan beri insentif bagi pelapor pelanggaran. Jadikan warga bukan sekadar korban, tetapi juga pengawas aktif lingkungan mereka sendiri.

4. Transportasi yang Bersih dan Terjangkau

Transportasi adalah penyumbang besar emisi. Percepat peralihan ke kendaraan listrik dengan insentif pembelian dan pembangunan charging station di ruang publik. Yang tak kalah penting: perbaiki transportasi umum agar jadi pilihan utama, bukan pilihan terakhir.

5. Kolaborasi Lintas Sektor dan Internasional

Polusi udara tidak mengenal batas wilayah, begitu pula solusinya. Pemerintah pusat, daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil harus duduk bersama, merancang solusi kolaboratif yang berkelanjutan. Selain itu, Indonesia perlu aktif dalam kerja sama internasional untuk bertukar teknologi, pengetahuan, dan pengalaman. Kita butuh aliansi global untuk melawan musuh bersama yang tak kasat mata ini.

Napas Kita, Tanggung Jawab Bersama

Polusi udara bukan sekadar kabut tipis di langit kota, ia adalah ancaman nyata yang menyusup ke rumah, sekolah, dan paru-paru anak-anak kita. Ini bukan cuma masalah “orang Jakarta” atau “urusan kementerian”, namun ini adalah persoalan bersama. Dari desa hingga kota, dari rakyat hingga pemimpin, kita semua menghirup udara yang sama, dan kita semua berhak atas udara yang bersih.

Anak-anak yang batuk setiap malam, ibu hamil yang tinggal di dekat pabrik, hingga kita yang makin sering merasa lemas dan sesak, itu merupakan alarm hidup yang tak boleh diabaikan. Kita tidak butuh lebih banyak data untuk meyakini bahwa ini darurat. Kita butuh keberanian. Keberanian untuk menuntut perubahan, untuk melawan abai, dan untuk mulai bertindak.

Karena memperjuangkan udara bersih bukan soal aktivisme semata, ini soal bertahan hidup. Soal masa depan yang bisa tumbuh tanpa racun, serta soal warisan apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi berikutnya.

“Mari bernapas untuk masa depan, bukan untuk kematian”


*) Penulis adalah Muhammad Rizky Perwira Zain, S2 Magister Kesehatan Masyarakat FK-KMK Universitas Gadjah Mada.

Komentar0

Type above and press Enter to search.