![]() |
Fachrul Rozi Harfi, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. (Foto: Dok. Ist). |
- UU No. 8 Tahun 2010: Menetapkan bahwa hasil kejahatan (korupsi, narkotika, terorisme, perdagangan orang, dll.) yang dialihkan ke dalam sistem keuangan merupakan tindak pidana.
- UU No. 9 Tahun 2013: Menanggulangi pendanaan terorisme, sebagai bagian penting dari Anti Money Laundering.
- Peraturan OJK & BI: Memberlakukan kewajiban uji tuntas nasabah (KYC), pelaporan transaksi mencurigakan (STR), dan pengawasan berbasis risiko (risk-based approach).
- Permenkumham No. 2 Tahun 2025: Mengatur pelaporan “beneficial ownership” (pemilik sebenarnya perusahaan), yang selama ini menjadi celah besar untuk pencucian uang.
Menurut saya Penekanan regulasi sekarang tidak hanya pada
perbankan, tapi juga meluas ke fintech, aset kripto, koperasi keuangan, dan
lainnya.
Hingga terdapat Modus Kejahatan Terus Berkembang dalam
Kejahatan pencucian uang tidak lagi terbatas pada hasil korupsi atau narkoba,
tapi kini mencakup:
- Judi online: Salah satu sumber utama uang haram yang dicuci melalui rekening bodong, payment gateway, dan aset digital.
- Sindikat internasional: Seperti kartel Kinahan dari Eropa yang mencuci uang melalui perusahaan cangkang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
- Kejahatan lingkungan & satwa liar: Dana hasil pembalakan liar, penambangan ilegal, dan perdagangan satwa kini dilacak karena menjadi bagian dari TPPU.
- Remitansi ilegal (hawala/flying-money): Sistem informal pengiriman uang lintas negara tanpa melalui perbankan digunakan untuk menyembunyikan asal-usul dana ilegal.
Saya lihat Lembaga-lembaga seperti PPATK, Polri, KPK, OJK,
dan KLHK sudah mulai melakukan tindakan bersama dan penelusuran aset lintas
sektor. Namun masih terdapat tantangan besar:
- Belum semua sektor memiliki kemampuan investigasi keuangan forensik.
- Kolaborasi antar instansi kadang lambat karena sistem data tidak terintegrasi.
- Masih sedikit putusan pengadilan TPPU yang berkekuatan hukum tetap dibandingkan dengan potensi jumlah kejahatan.
Sehingga saya coba mengambarkan Tantangan utama:
- Pemanfaatan teknologi untuk mendeteksi pencucian uang (misalnya: crypto mixer, NFT, tokenisasi aset).
- Minimnya edukasi dan literasi Anti Money Laundering di sektor keuangan non-bank.
- Pelaku menggunakan struktur perusahaan rumit untuk menyembunyikan aset.
Saran saya:
- Digitalisasi pelaporan dan pemantauan transaksi
- Pelatihan dan sertifikasi penyidik keuangan lintas sektor.
- Kerja sama internasional dalam pelacakan aset dan ekstradisi pelaku.
*) Penulis adalah Fachrul Rozi Harfi, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. (Foto: Dok. Ist).
Komentar0