![]() |
Penulis adalah Boniy Taufiqurrahman, Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial FK-KMK UGM. (Foto: Kemenpora.co.id). |
Suara Time, Opini - Setiap delapan detik, ada satu orang yang membutuhkan transfusi darah di Indonesia. Tapi bagaimana jika stok darah kosong? Di UDD PMI Lhoksumawe, sisa persediaan darah 53 kantong dan hanya cukup untuk lima hari. Krisis stok darah di Indonesia bukanlah hal baru, bahkan masih terjadi sampai saat ini. Bahkan krisis ini terjadi di seluruh wilayah di Indonesia dari waktu ke waktu. Ironisnya, kebijakan nasional terkait donor darah masih lemah. Partisipasi masyarakat pun menjadi tidak sebanding dengan kebutuhan darah. Hari Donor Darah Sedunia seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk turun langsung, tidak bisa terus bergantung kepada PMI dan relawan.
Kegiatan donor darah masih bergantung pada PMI dan relawan, serta terbatas pada momen temporer saja. Banyak pihak mengadakan kegiatan donor darah, seperti lembaga non pemerintah sampai ke perusahaan swasta. Namun nyatanya belum ada kebijakan nasional yang mewajibkan atau mengarahkan instansi pemerintah, lembaga swasta, kampus, maupun perusahaan untuk berpartisipasi aktif. Kegiatan-kegiatan donor darah hanya sebatas seremonial belaka. Padahal negara seperti Jepang sudah memiliki sistem donor darah nasional berbasis kebijakan dan teknologi. Bahkan Jepang pernah memberikan bantuan mobil unit donor darah di NTT.
Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, isu donor darah memang sudah diatur dalam Pasal 114 hingga 122. Sayangnya peraturan ini masih terbatas pada aspek teknis seperti pelayanan darah, persyaratan donor, dan larangan jual beli darah. Tidak ada pasal yang secara eksplisit mendorong adanya kebijakan nasional untuk membangun sistem donor darah sukarela yang kuat, terstruktur, dan berkelanjutan. Akibatnya, penyelenggaraan donor darah di Indonesia masih sangat bergantung pada inisiatif sporadis dari PMI dan relawan.
Padahal situasi yang kita hadapi sudah masuk kategori darurat. WHO menyarankan minimal 2% populasi menjadi pendonor darah secara rutin, tetapi Indonesia baru mencapai sekitar 1,1%. Sementara kebutuhan darah mencapai lebih dari 7 juta kantong per tahun. Krisis stok darah berulang terutama saat terjadi bencana, pandemi, atau libur panjang, dan langsung berdampak pada pasien yang sangat bergantung pada transfuse, seperti penderita thalassemia, pasien kanker, dan ibu melahirkan. Tanpa sistem dan kebijakan nasional yang kuat, krisis ini akan terus menjadi siklus yang membahayakan nyawa.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan donor darah sukarela dengan skala nasional. Kebijakan ini dapat diimplementasikan melalui Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Kesehatan yang mendorong donor rutin berbagai lembaga pemerintahan, institusi pendidikan, sampai swasta. Kegiatan donor darah yang telah ada, akan lebih bagus apabila dilakukan secara kolektif dan rutin. Sehingga memungkinkan semua pihak akan terlibat dan mengamankan stok darah. Diperlukan juga pembangunan pusat donor darah di wilayah-wilayah supaya akses lebih merata. Masyarakat pun akan jauh lebih mudah untuk melakukan donor darah tanpa menunggu momen tertentu. Donor darah bukan sekadar aksi sosial, namun pilar dasar sistem kesehatan. Negara tak bisa lagi hanya mengandalkan relawan. Sudah saatnya ada kebijakan yang menjadikan donor darah sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif. Karena setetes darah bisa menyelamatkan nyawa.
*) Penulis adalah Boniy Taufiqurrahman, Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial FK-KMK UGM.
Komentar0