GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Empati dan Logika: Dua Nilai Penting dari Pendidikan Ilmu Sosial yang Sering Terlupakan

Penulis:  Jasmine Aulia, Univesitas Pamulang, Prodi Pendidikan Ekonomi. (Foto: Dok/Ist).

Suara Time, Opini - Di tengah derasnya arus informasi dan meningkatnya polarisasi sosial, pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebenarnya memegang peran strategis. Sayangnya, dalam praktik di kelas, IPS masih sering dipersempit sebagai pelajaran hafalan yang hanya menguji pengetahuan tentang tanggal, tokoh, atau peristiwa sejarah. Padahal, jauh lebih dari itu, IPS memiliki dua nilai kunci yang sangat relevan untuk masa kini: empati dan logika.

Empati merupakan kemampuan memahami dan merasakan pengalaman orang lain. Dalam konteks IPS, empati tumbuh ketika siswa diajak memahami kehidupan masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk kelompok yang terpinggirkan. Ketika siswa mempelajari konflik sosial, kemiskinan, atau ketimpangan gender bukan hanya sebagai data, tapi sebagai realita hidup manusia, di situlah benih empati ditanamkan.

Misalnya, ketika membahas topik tentang pengungsi, guru bisa menghadirkan kisah nyata atau video dokumenter yang menyentuh sisi kemanusiaan. Ini bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga membangun kepedulian. Siswa jadi memahami bahwa setiap fenomena sosial bukan sekadar angka, melainkan kisah nyata manusia yang perlu dipahami dengan hati.

Di sisi lain, logika dalam pendidikan IPS sangat penting untuk melatih cara berpikir kritis. Siswa dilatih untuk melihat sebab-akibat, menganalisis data, membandingkan sumber informasi, dan menyusun argumen. Inilah bekal untuk menghadapi era digital, di mana hoaks, opini bias, dan disinformasi begitu mudah menyebar.

Sayangnya, pendekatan pembelajaran IPS yang terlalu berorientasi pada ujian cenderung mengabaikan dua nilai penting ini. Empati dikalahkan oleh kejaran target kurikulum, sementara logika tenggelam dalam hafalan. Padahal, tanpa empati, siswa tumbuh menjadi generasi yang cuek terhadap masalah sosial. Tanpa logika, mereka mudah termakan informasi palsu.

Untuk mengembalikan dua nilai ini ke dalam ruang kelas, dibutuhkan metode pembelajaran yang lebih kontekstual dan reflektif. Guru bisa mengajak siswa berdiskusi, menganalisis berita, bermain peran sosial, atau membuat proyek sosial sederhana di lingkungan sekitar. Pendekatan seperti ini tidak hanya menghidupkan kelas, tetapi juga mengasah sensitivitas sosial dan kemampuan berpikir logis siswa.

Pendidikan IPS harus menjadi ruang aman untuk bertanya, berdialog, dan berbeda pendapat secara sehat. Ketika siswa dilatih untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan menghargai pendapat orang lain, mereka akan terbiasa berpikir jernih tanpa menghakimi. Di sinilah empati dan logika berjalan beriringan.

Pada akhirnya, IPS bukan hanya tentang memahami dunia, tetapi juga tentang menjadi manusia yang lebih bijak. Masyarakat yang penuh konflik dan kebingungan informasi saat ini butuh generasi muda yang bisa merasa sekaligus berpikir—yang bisa peduli, tapi juga kritis. Dan pendidikan IPS, jika dijalankan dengan hati dan nalar, bisa menjadi fondasi penting untuk membentuk generasi semacam itu.


*) Penulis adalah Jasmine Aulia, Univesitas Pamulang, Prodi Pendidikan Ekonomi.

Komentar0

Type above and press Enter to search.